BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Mencermati tahun
1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia hingga
sekarang ini, maka dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki dasar
yang kuat untuk dapat menghadapi
perubahan-perubahan global. Berbagai tekanan yang
datang dari dalam dan luar negeri selalu menghasilkan perubahan ke arah yang
lebih buruk dalam kinerja ekonomi, struktur sosial masyarakat, dan struktur
politik bangsa. Pada
sisi lain terdapat penurunan kemampuan kinerja birokrasi, yang nantinya akan sangat berpengaruh
terhadap kinerja bangsa secara menyeluruh.
Agar
Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan
reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam
kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan
masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi
pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan
mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam buruknya birokrasi saat ini.
Mencermati
tahun 1997 yang merupakan awal dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia
hingga sekarang ini, maka dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki
dasar yang kuat untuk dapat menghadapi
perubahan-perubahan global. Berbagai tekanan yang
datang dari dalam dan luar negeri selalu menghasilkan perubahan ke arah yang
lebih buruk dalam kinerja ekonomi, struktur sosial masyarakat, dan struktur
politik bangsa. Pada
sisi lain terdapat penurunan kemampuan kinerja birokrasi, yang nantinya akan sangat
berpengaruh terhadap kinerja bangsa secara menyeluruh.
Agar
Indonesia tidak semakin jatuh maka birokrasi Indonesia perlu melakukan
reformasi secara menyeluruh. Reformasi itu sesungguhnya harus dilihat dalam
kerangka teoritik dan empirik yang luas, mencakup didalamnya penguatan
masyarakat sipil (civil society), supremasi hukum, strategi
pembangunan ekonomi dan pembangunan politik yang saling terkait dan
mempengaruhi. Dengan demikian, reformasi birokrasi juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam buruknya birokrasi saat ini.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan reformasi birokrasi dan patologi birokrasi?
2.
Bagaimana birokrasi
Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
3.
Bagaimana mekanisme
pelaksanaan reformasi birokrasi yang
seharusnya dilakukan oleh
pemerintah guna mengatasi patologi birokrasi?
1.3
Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mngkaji
kembali bagaimana sebenarnya pelaksanaan reformasi
birokrasi di Indonesia. Selain itu,
pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana
proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia guna mengatasi patologi birokrasi di Indonesia.
BAB II
ISI
2.1 KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Birokrasi
Birokrasi
adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau
undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara
etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh
Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir
ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik
(Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Max Weber sebagai bapak birokrasi
mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi
dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model birokrasi ideal yang memiliki
karakteristik sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):
a. Pembagian
Kerja (division of labour)
b. Adanya
prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
c. Adanya
sistem aturan (system of rules)
d. Hubungan
Impersonal (formalistic impersonality)
e. Sistem
Karier (career system)
B.
Patologi Birokrasi
Patologi Birokrasi
(Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang
disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh
Victor A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada
aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap
perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.”
Red Tape merupakan awal
kemunculan dari sebuah Patologi ini. Red Tape disebabkan adanya kecenderungan
alami yang terjadi di dalam tubuh dan para birokrat yang tercetak dari
rutinitas kegiatan mereka sendiri. Birokrasi yang semestinya lebih
memper-efisien-kan proses malah semakin berbelit-belit karena para birokrat
terlalu “patuh” pada prosedur yang ada. Jenis dari Patologi Birokrasi selain
Red Tape yaitu Korupsi, Kolusi, Nepotisme, tidak adanya akuntabilitas,
pertanggung jawaban formal, dan lain sebagainya.
Negara berkembang bisa dikatakan sebagai pusat dari
Patologi Birokrasi. Ciri dari birokrasi negara berkembang yaitu: Pertama,
administrasi publiknya bersifat elitis, otoriter, menjauh atau jauh dari
masyarakat dan lingkungannya serta paternalistik. Kedua, birokrasinya
kekurangan sumber daya manusia (dalam hal kualitas) untuk menyelenggarakan
pembangunan dan over dalam segi kuantitas. Ketiga, birokrasi di negara
berkembang lebih berorientasi kepada kemanfaatan pribadi ketimbang kepentingan
masyarakat. Keempat, ditandai adanya formalisme. Yakni, gejala yang lebih
berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang
sesungguhnya terjadi. Kelima, birokrasi di negara berkembang acapkali bersifat
otonom. Artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi
publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan
publik yang demokratis. Dari
sifat inilah, lahir nepotisme, penyalahgunaan wewenang, korupsi dan berbagai
penyakit birokrasi yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada
umumnya memiliki kredibilitas yang rendah.
C.
Reformasi
Birokrasi
Sebuah negara, dalam mencapai tujuannya,
pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut pemerintah dan
pemerintahannya. Pemerintah pada hakikatnya adalah pemberi pelayanan kepada
masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan
zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah
terjadi pula perkembangan penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, diperlukan
adanya rangka pemerintahan yang kuat untuk menghadapi dinamika perkembangan
masyarakat.
Reformasi birokrasi adalah salah
satu cara untuk membangun kepercayaan rakyat. Pengertian dari reformasi
birokrasi itu sendiri adalah suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem
yang tujuannya mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan
yang sudah lama. Ruang lingkup reformasi birokrasi tidak hanya terbatas pada
proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan
sikap serta tingkah laku. Hal ini berhubungan dengan permasalahan yang
bersinggungan dengan wewenang dan kekuasaan.
Tahap Tahap Reformasi Birokrasi yang ideal
Mengutip definisi yang diajukan Fauziah
Rasad dari Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), reformasi birokrasi adalah
perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Agar reformasi birokrasi
dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen
perubahan.Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi,
mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau
organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan
lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan.Ada
tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials
tahun 2005.
Langkah pertama,
memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan
cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap
ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan
instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan
masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi
bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan.
Langkah kedua,
mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun
organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.
Langkah ketiga,
menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang
para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar
dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang
yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di
bawahnya.
Langkah keempat,
fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme
asessment yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang
diberi tugas tertentu.
Langkah kelima,
mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu
menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.
Langkah keenam,
membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan,
termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.
Langkah ketujuh,
mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul
selama proses perubahan berlangsung.
Strategi reformasi
birokrasi
a. Pada
level kebijakan, harus diciptakan berbagai
kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak
sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan,
gugatan).
b. Pada
level organisational, dilakukan melalui
perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang
sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu,
Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
c. Pada
level operasional, dilakukan perbaikan
melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability,
responsiveness, assurance dan emphaty.
d. Instansi
Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan
melakukan perbaikan.
Birokrasi
Indonesia Sebelum Reformasi
Birokrasi di Indonesia menurut Karl D
Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana
negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari
politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di
Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh
Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota
serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi
Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan
pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan
social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model yang diutarakan di atas dapat
dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru
adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai
birokrat yang makin membengkak.
Keadaan ini pula yang menyebabkan
timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :
1. Maraknya
tindak KKN
2. Tingginya
keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap
masyarakat tidak maksimal
3. Pelayanan
publik yang diskriminatif
4. Penyalahgunaan
wewenang
5. Pengaburan
antara pejabat karir dan non-karir
2.2 PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Guna Mengatasi Patologi Birokrasi
Beberapa perubahan yang perlu
dilakukan pemerintah guna merespon kesan
buruk birokrasi.
Birokrasi perlu
melakukan beberapa perubahan sikap dan perilakunya antara lain:
a)
birokrasi harus lebih
mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan
pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan
kewenangan;
b)
birokrasi perlu
melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping,
efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu
ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang
dapat diserahkan kepada masyarakat);
c)
birokrasi harus mampu
dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih
berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat,
akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan
ketepatan waktu;
d)
birokrasi harus
memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen
pembaharu pembangunan;
e)
birokrasi harus mampu
dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid)
menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis,
inovatif, fleksibel dan responsif.
Dari pandangan ini, dapat disimpulkan
bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara
efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih
terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang
terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan
kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi
dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.
Sedangkan dalam kontek persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu
dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capabelity),
memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki
keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency).
Oleh karena itu, untuk merealisasikan
kriteria ini Pemerintah sudah seharusnya segera menyediakan dan mempersiapkan
tenaga kerja birokrasi professional yang mampu menguasai teknik-teknik
manajemen pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada peraturan (rule
oriented) tetapi juga pada pencapaian tujuan (goal oriented)
.
B. Professional dan Professionalisasi dalam Birokrasi
Birokrasi publik yang
profesional harus lebih berorientasi pada paradigma goal governance yang
didasarkan pada pendekatan manajemen baru baik secara teoritis maupun praktis.
Sekaligus, paradigma goal governance ini diharapkan mampu menghilangkan
praktekpraktek birokrasi Weberian yang negative seperti struktur
birokrasi yang hierarkhikal
yang menghasilkan biaya operasional lebih mahal (high cost economy)
daripada keuntungan yang diperolehnya, merajalelanya red tape, rendahnya
inisiatif dan kreativitas aparat, tumbuhnya budaya mediokratis (sebagai
lawan dari budaya meritokratis) dan in-efesiensi.
Birokrasi sebagai ujung
tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai programprogram pembangunan dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi
yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan
pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat.
Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan
(termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya
proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat
menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan .
Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan
bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).
Strategi
birokrasi profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa
karakteristik antara lain:
Pertama,
perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke
perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban
pribadi pimpinan.
Kedua,
keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi,
pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes.
Ketiga,
tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga
memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya
masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya.
Keempat, staf
pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang
ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral.
Kelima,
fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test)
seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau
ditangani sendiri oleh pemerintah.
Keenam,
mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi.
Ketujuh,
birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas
pemerintahan.
Kedelapan, rekruitmen
dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotism.
C.
Pembentukan UU Reformasi
Birokrasi
Keberadaan UU Reformasi Birokrasi dimaksudkan untuk menjamin kontinuitas pelaksanaan
reformasi birokrasi, yang harus menggunakan pendekatan, bukan
sepotong-sepotong, dan perlu kesungguhan, dan konsistensi.
Untuk itu, diperlukan kerjasama yang sinergis antara semua
elemen bangsa, yang sebenarnya masing-masing tujuan yang baik untuk bangsa dan
negara.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan
kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik,
kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan
internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme,
kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap
dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan
dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang
penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan
sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia
harus terus dijalankan demi tidak terciptanya lagi patologi birokrasi di
Indonesia.
3.2
Saran
Untuk
memayungi reformasi birokrasi, diupayakan penataan perundang-undangan, antara
lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan
demikian, proses reformasi birokrasi
guan mencegah buruknya birokrasi dapat berjalan dengan
baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk
membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih. Selain itu, diharapkan
masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi,
prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan
percepatan pemberantasan korupsi.
mantap artikelnya.
BalasHapuswww.kiostiket.com
Daftrpustkx mn?
BalasHapus