Rabu, 12 Juni 2013

Studi Implementasi (Praktek)

IMPLEMENTASI PERDA NO 8 TAHUN 2008 TENTANG PARKIR BERLANGGAN SIDOARJO.

Parkir selalu menjadi permasalah krusial di perkotaan.Seperti halnya Sidoarjo, yang kini berubah menjadi Kota Satelit penyangga, Surabaya. Jika dikelola dengan profesional, PAD dari sektor ini bisa dibilang sangat  besar, namun faktanya pengelolaan lahan parkir kerap kali menjadi ranah para preman penguasa wilayah tersebut.Dari sektor perparkiran ini Sidoarjo berharap akan mendapatkan sumber PAD baru. Pada tahun 2011, pendapatan dari sektor parkir non berlangganan ditarget mencapai Rp 100 juta. Dengan harapan menambah PAD, Pemkab juga membuat kebijakan baru yang tidak pro rakyat yakni pemberlakukan parkir berlangganan, Pasalnya, tiap orang tidak sama dalam mengunakan jasa parkir tersebut.  Bagi orang yang suka bepergian dan mengunakan  jasa parkir tersebut mungkin ini adalah keuntungan. Tapi bagi mereka yang jarang atau bahkan sebulan hanya satu kali menggunakan jasa itu, maka kebijakan parkir berlangganan bisa dikatakan sebuah bentuk ketidakadilan.
Bea parkir yang dikenakan tidak sebanding dengan jasa yang digunakan. Yakni 25 ribu yang dibayarkan tiap pengurusan surat kendaraan bermotor. Karena dalam mengikuti ketentuan parkir berlangganan tersebut warga “dipaksa”. “Setiap ngurus STNK kan juga harus wajib bayar parkir berlangganan
Belum lagi tetang lokasi parkir yang tidak jelas dan tidak merata, bahkan tak jarang jukir juga masih meminta uang jasa meski tertulis papan kawasan parkir berlangganan.
Meski Pemkab telah membentuk tim gabungan yang dikemas dalam Operasi Tertib (Opstib), namun tetap saja ada Jukir yang meminta uang jasa. Tim gabungan yang terdiri dari Garnisun, Denpom, Polres Sidoarjo, Satpol PP Sidoarjo, dan Tim Pengawas jukir dari Dinas Perhubungan (Dishub) Sidoarjo seolah tak mampu menghadapi fenomena ini, lantas siapa yang dirugikan? tentunya warga pengguna lahan parkir yang harus dipaksa untuk membayar oleh Jukir.
Idealnya, bila hendak berniat menerapkan parkir berlangganan, pemerintah Kabupaten tidak perlu tanggung-tanggung, semua wilayah perparkiran di Sidoarjo dijadikan lokasi parkir berlangganan dan semua jukirnya juga harus dikelola.
Yang tak kalah pentingnya adalah nilai tanggungan bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan  bebannya juga bisa dibagi dengan si jukir.
Jadi bila pemberlakukan tetap dijalankan maka rakyat akan dirugikan dengan pengenaan bea parkir berlangganan, sebab tidak setiap orang memerlukannya.  Bukankah ini adalah bentuk perampokan dan perampasan harta rakyat karena dilakukan secara paksa hanya untuk mengejar PAD (pendapatan asli daerah).
Sebelumnya, Ketua Komisi B Kab.Sidoarjo M.Agil, mendukung evaluasi terhadap perda Perda No 1 Tahun 2006. Pasalnya, keberadaannya di lapangan justru meresahkan masyarakat. Pasalnya, disatu sisi, pemerintah tidak bisa menertibkan jukir nakal yang tetap menarik pengguna parkir berlangganan.
Dan itu adalah bentuk kedzaliman yang dipelihara. Apalagi disinyalir juga banyak keluhan masyarakat, mereka tidak rela, dan itu berarti uang yang dipungut adalah haram. Apa pemerintah dibentuk untuk meraup barang haram?.
lantas bila pemerintah mendapatkan hasil uang haram dan dikembalikan ke rakyat dalam keadaan haram, apa yang terjadi pada rakyat atas perbuatan dzalim.apa rakyat ikut memikul dosanya?.Mungkin jawabnya ada di tangan tuhan yang maha kuasa.
rakyat hanya bisa apatis dalam menghadapi situasional seperti saat ini. Keinginan pemerintah untuk mendapatkan tambaha PAD dengan bikin Perda No 8 tahun 2008 tentang parkir berlangganan, namun pada implementasinya tidak berjalan secara efektif, dan lebih menguntungkan pemerintah dan jukirnya, sementara kepentingan rakyat pada umumnya dikesampingkan. Tanpa mengedepankan Demokrasi Ekonomi yang telah digembor-gemborkan sejak indonesia merdeka sebagaimana telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 33. Intinya semua ini adalah sikap dzalim pemerintah terhadap rakyatnya yang tidal dapat dipertanggung jawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar