BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Reformasi
Birokrasi
Reformasi
adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah
ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya
masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam
pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180).
Reformasi
birokrasi berdasarkan teori Max Weber adalah upaya-upaya strategis dalam menata
kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control,
division of labor, line and staff, ru;e and regulation, and professional staff
(Setiyono, 2004). Sementara itu, Michael
Dugget, Director General IIAS mendefinisikan reformasi birokrasi sebagai
“proses yang dilakukan secara kontine untuk mendesain ulang birokrasi yang
berada di lingkungan pemerintah dan partai politik sehingga dapat berdaya guna
dan berhasil guna baik ditinjau dari segi hukum maupun politik”.Selain itu juga Reformasi Birokrasi merupakan perubahan
signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber daya
manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan
pelayanan publik. Hal penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set
dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan
pada upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara
berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan
berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan
bebas KKN.
2.1.1
Kelembagaan
Menurut
Purwaka, 2008, kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai
hal ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga
judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga
swasta maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi
:
1. Landasan
hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai
tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta kewenangan, tugas pokok
dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai tujuan;
2. Tujuan
yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk
melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hokum yang rasional;
3. Keberadaan
atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagiamana
dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum dengan
argumentasi yang rasional;
4. Sarana
dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga
sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan
hukum disertai dengan argumentasi rasional;
5. Sumberdaya
manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi
lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap
landasar hukum serta dengan argumentasi yang rasional;
6. Sumberdaya
manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari
pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal;
7. Mekanisme
atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga
sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan
hukum disertai dengan argumentasi yang rasional;
8. Jejaring
kerja antar lembaga sebagaimana dapat dipahami melalui penafsiran dan penalaran
terhadap lendasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional; dan
9. Hasil
kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat
diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hokum disertai
dengan argumentasi yang rasional.
Tata
kelembagaan terdiri dari (Purwaka 2008):
Kapasitas
potensial (potensial capasity), yaitu kemampuan potensial dari tata
kelembagaan yang harus dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Kapasitas
potensial mencakup:
a. Perumusan
landasan hukum yang terdiri dari peraturan perundangundangan yang diberlakukan
sebagai aturan main kelembagaan;
b. Penetapan
tujuan, perumusan strategi, untuk mencapai tujuan, dan perumusan pedoman untuk
melaksanakan strategi, serta perumusan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan
dari unsur-unsur kelembagaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. Penempatan
sejumlah sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang
dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
d. Penempatan
sumberdaya yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daya
dukung (carrying capacity), yaitu kemampuan tata kelembagaan untuk
mendukung suatu aktivitas tertentu dalam
rangka mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Daya dukung kelembagaan
meliputi:
a. Upaya
penafsiran dan penalaran terhadap utaian tugas pokok dan fungsi, dan landasan
hukum kelembagaan yang berlaku, serta usaha pemberian argumentasi yang rasional
terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut;
b. Penempatan
sejumlah sumberdaya manusia sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil
penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional;
c. Penempatan
sejumlah sumberdaya buatan sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil
penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; dan
d. Pemberian
beban tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas terpasang atau kapasitas
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang ditempatkan, serta tujuan yang
ingin dicapai.
Daya
tampung (absorptive capasity), yaitu kemampuan menyerap dan/atau
mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi tanpa harus mengubah
jati diri kelembagaan yang sudah ada. Daya tampung disebut juga daya lentur
kelembagaan meliputi:
a. Upaya
penafsiran dan penalaran terhadap perubaha lingkungan yang terjadi, serta
pemberian argumentasi yang rasioanal terhadap hasil penafsiran dan penalaran
tersebut; dan
b. Upaya
penyerasian, penyelarasan dan penyesuaian antara kondisi kelembagaan yang ada (existing
condition) dan perubahan lingkungan kelembagaan.
Menurut
Purwaka (2008) kapasitas yang harus ada dalam tata kelembagaan harus dituangkan
dalam wujud sebagai berikut:
1)
Visi, misi, tujuan dan objek;
2)
Bentuk lembaga;
3)
Struktur organisasi;
4)
Uraian tugas pokok dan fungsi;
5)
Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang diperlukan; dan
6) Kualitas dan kuantitas sumberdaya buatan yang
diperlukan.
2.1.2
Ketatalaksanaan
Menurut Majid, Marjilis
(2010) Dalam sistem ketetalaksanaan mencakup proses pedoman umum standar
operasi, mekanisme, tata kerja, hubungan kerja dan prosedur pada tingkat
perencanaan dan pembuatan keputusan, pengorganisasian, pengelolaan,
administrasi umum, keuangan, perlengkapan, pemantauan dan evaluasi kinerja
organisasi serta melaksanakan koordinasi dan pengelolaan kearsipan,
kurporalisasi, efesiensi dan tentang pengaturan budaya kerja, namun demikian
saat ini kondisi pelaksanaan ketatalaksanaan masih belum mencerminkan
penyelenggaraan penataan organisasi yang efesien, efektif pada organisasi
pemerintahan daerah saat ini apalagi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan
perwujudan pemerintahan yang baik dipandang perlu untuk melakukan
penyederhanaan sistem, prosedur, metoda dan tata kerja penyelenggara negara
agar menjadi makin tertib dan efektif.
Pengertian
Ketatalaksanaan Reformasi dalam bidang ketatalaksanaan ini biasanya
juga disebut sebagai Reformasi sistem dan prosedur, yang diperlukan untuk
menstandarkan sistem dan prosedur dilihat dari efektivitas, efisiensi,dan
ekonomis (value for money). Satuan-satuan
organisasi/unit-unit kerja di lingkungan Sekretariat Negara saat ini telah
memiliki dan menerapkan sistem, prosedur, dan mekanisme kerja, serta standar
pelayanan yang makin baku, jelas, efisien, dan efektif, dengan didukung makin
optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang memadai.
Sehingga pelaksanaan tugas pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih
cepat, terukur, dan transparan, serta makin mengurangi peluang untuk terjadinya
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebenarnya ketatalaksanaan berasal dari dua kata yaitu tata dan laksana,
pengertian singkat dari tata adalah aturan, susunan, cara, sistem sedangkan
pengertian dari laksana adalah sifat, perilaku, perbuatan. Jadi pengertian
tatalaksana adalah cara mengurus (menjalankan, melaksanaan) aktivitas usaha
instansi/perusahaan.
Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan ke depan harus didasarkan pada prinsip-prinsip:
pemberdayaan, pelayanan, partisipasi, kemitraan, dan desentralisasi. Fungsi
pemberdayaan, aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri,
tetapi mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa
dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat
atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus
diberdayakan (empowering). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada
masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat
ditingkatkan antara lain melalui.
1. Pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi
masyarakat.
2. Perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai kegiatan sosial ekonomi
masyrakat.
3. Pengembangan proses untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat
belajar dan berperan aktif (social learning process) dalam memamfaatkan dan
mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai
tamabah guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Upaya pemberdayaan memerlukan
semangat untuk melayani (a spirit of public services), dan menjadi
mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama
dengan masyarakat Esman dalam Moestopadidjaja (1997)
Tujuan dari pada
pendayagunaan Ketatalaksanaan yaitu: mewujudkan tata laksana yg ringkas/simpel,
efektif, efisien dan transparan, memberi pelayanan prima dan pemberdayaan
masyarakat. Kebijakan dalam Ketatelaksanaan: diarahkan pd perubahan sistem
manajemen dgn konsep manajemen modern agar cepat, akurat, pendek jaraknya.
Pemanfaatan teknologi modern di lingkungan instansi pemerintah. Kegiatan Pokok
Ketatalaksanaan meliputi: menyempurnakan sistem dan prosedur kerja
efektif,ramping, fleksibel berdasar prinsip kepemerintahan yg baik,
menyempurnakan SAN u/ menjaga keutuhan NKRI dan mempercepat proses
desentralisasi, menyempurnakan tatalaksana dan hub kerja antar lembaga di pusat
dan antar pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, menciptakan sistem
administrasi pendukung dan kearsipan yg efektif dan efisien.
Strategi Pendayagunaan
Ketatalaksanaan; pemangkasan dan eliminasi mekanisme sistem kerja, prosedur dan
mekanisme yg memberi peluang terjadinya praktek KKN, deregulasi dan
debirokratisasi sistem administrasi pemerintahan, perumusan Standar, operating
Procedures (SOP) adms pemerintahan, penyusunan hub kerja eksternal/tata hub
kewenabgan antar lembaga, antar pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah
, optimalisasi pemanfaatan teknologi infs (E-Gov) dlm rangka modernisasi adms
dan manajemen pemerintahan, penataan pengelolaan arsip secara bik dan benar,
otomatisasi adms perkantoran, proses pengadaan perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi dan pengendalian, pengelolaan sarana dan prasarana kerja
sesuai ketentuan yg berlaku, implementasi akuntabilitas, tranparansi dll serta
merubah paradigma manajemen UP3 (Unit Pelaksana Pelayanan Pemerintah dr
manajemen birokratik ke manajemen wirausaha. Kriteria Pemilihan Prioritas
Program Pendayagunaan Ketatalaksanaan : prosedur panjang, berbelit dan
bertele-tele, rawan/memberi peluang KKN dan percaloan, mengganggu/menghambat
kelancaran produksi dan arus
barang/jasa pemerintah , mengganggu kelancaran penerimaan dan pengeluaran
anggaran Negara, menghambat kelancaran proses kerja aparatur/mengakibatkan
ekonomi biaya tinggi, memboroskan sumber daya dan waktu.
Inti dari penjelasan diats
yaitu penataan ketatalaksanaan merupakan Mekanisme, system dan prosedur
sederhana atau ringkas, simple, mudah dan akurat melalui optimalisasi
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi serta memiliki kantor, sarana dan
prasarana kerja memadai. Keberhasilan Sistem Tatalaksana Memerlukan Koordinasi
yang meliputi: waktu, ruang,
interinstitusional, fungsional, structural, perencanaan, masukan umpan balik.
2.1.3
Sumber
Daya Aparatur
Sebagaiman
diamantkan dalam UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2055, bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui
reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat dan di daerah agar mampu
mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya.
Manajemen Sumber Daya Aparatur
(MSDA) adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar
efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan organisasi. Fungsi-fungsi Manajemen
Sumber Daya Aparatur terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengendalian, pengadaan,pengembangan kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan,
kedisiplinan, dan pemberhentian. Tujuannya ialah agar organisasi dapat
melakukan kebijakan dengan baik dan pegawai mendapatkan kepuasan dari
pekerjaannya. (Drs. Melayu S.P. Hasibuan)
Sumber daya aparatur menurut Badudu dan Sutan dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, adalah terdiri dari kata sumber yaitu, tempat asal dari
mana sesuatu datang, daya yaitu usaha untuk meningkatkan kemampuan, sedangkan
aparatur yaitu pegawai yang bekerja di pemerintahan. Jadi, sumber daya aparatur
adalah kemampuan yang dimilki oleh pegawai untuk melakukan sesuatu”. (Badudu
dan Sutan, 1996:1372).
Soerwono
Handayaningrat yang mengatakan bahwa Aparatur ialah aspek-aspek administrasi
yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan atau negara, sebagai alat
untuk mencapai tujuan organisasi. Aspek-aspek administrasi itu terutama ialah
kelembagaan atau organisasi dan kepegawaian (Handayaningrat,1982:154).
Secara garis
besar, persoalan pegawai negeri sipil dapat ditinjau dari tiga perspektif yaitu
perspektif system (aturan hukum dan kebijakan), kelembagaan dan sumber daya
manusia. Dari perspektif kelembagaan contohnya adalah PP No.24 tahun 1976
tentang cutu PNS, PP No 10 Tahun 1976 tentang penilaian pelaksanaan pekerjaan
PNS, pp No 15 Tahun 1979 tentang daftar urut kepangkatan PNS, PP No 32 Tahun
1979 tentang pemberhentian PNS, PP No 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin
PNS, dan lain-lain. Upaya-upaya untuk memperbarui regulasi tersebut telah
dimulai walaupun belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Dari perspektif kelembagaan, terdapat
beberapa instansi yang menangani perumusan kebijakan PNS seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Lembaga Administrasi Negara,Badan Kepegawaian Negara, dan Departemen Dalam Negeri. Deputi II Bidang
Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PAN, contohnya, bertugas
menyiapkan perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang
sumber daya manusia aparatur dengan fungsi-fungsi:
a. menyiapkan
perumusan kebijakan di bidang sumber daya manusia aparatur;
b. melakukan
koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang sumber daya manusia aparatur;
c. melakukan
pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan di bidang sumber daya manusia
aparatur; dan
d. melaksanakan
hubungan kerja di bidang sumber daya manusia dengan pemerintah dan masyarakat.
BKN selain menetapkan kebijakan dan
regulasi PNS juga melaksanakan fungsi-fungsi operasional, seperti halnya
Kementerian PAN. Di bidang pendidikan dan pelatihan, LAN berfungsi sebagai
instansi pembina Diklat sedangkan BKN bertindak sebagai instansi pengendali
diklat. Selain LAN dan BKN yang mengeluarkan kebijakan mengenai pendidkan dan
pelatihan PNS, Departemen Dalam Negeri juga menetapkan sejumlah kebijakan
berkenaan dengan pendidikan dan pelatihan untuk PNS di daerah.
Penataan Sumber Daya Aparatur (SDA)
Penataan
Sumber Daya Aparatur (SDA) dilaksanakan dengan memperhatikan:
1.
Penerapan sistem merit dan manajemen kepegawaian
2.
Sistem teknologi diklat yang efektif
3.
Standart dan peningkatan kinerja
4.
Pola karier jelas dan terencana
5.
Standar kompetensi jabatan
6.
Klasifikasi jabatan
7.
Tugas, fungsi dan beban tugas proposional
8.
Rekrutmen sesuai prosedur
9.
Penempatan pegawai sesuai keahlian
10.
Renumerasi memadai
11.
Perbaikan sistem iformasi manajemen kepegawaian
Strategi Peningkatan Kompetensi
Sumber Daya Aparatur
1. Strategi
Pembinaan Diklat
a. Diklat
Berbasis Kompetensi
Maraknya jenis dan penyelenggara diklat
mengakibatkan bervariasinya jenis-jenis diklat yang tersedia baik yang
diselenggarakan oleh lembaga diklat pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga
diklat swasta. Untuk menghindari fenomena asal ikut diklat , maka dalam
penyelenggaraan diklat untuk PNS diberlakukan kebijakan diklat berbasis
kompetensi. Artinya, diklat yang diperuntukkan bagi PNS bukan diklat yang
sekedar membentuk kompetensi, tetapi kompetensi tersebut harus relevan dengan
tugas dan jabatannya. Dengan kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat
membantu di dalam melaksanakan tugas dan jabatan.
Penerapan kebijakan ini memang berimplikasi langsung
pada keharusan adanya standar kompetensi untuk setiap jabatan, baik jabatan
struktural, fungsional tertentu, maupun fungsional umum. Karena setiap PNS
adalah pelayan publik, maka sesuai dengan tugas pokoknya sudah barang tentu
kompetensi merupakan keharusan pada setiap standar jabatan. Dalam prakteknya,
tidak semua kompetensi tersebut diperoleh melalui diklat melainkan diperoleh
melalui belajar mandiri, bimbingan di tempat kerja, dan sebagainya. Kompetensi
yang diperoleh melalui diklatlah yang ditindaklanjuti dalam bentuk program
diklat. Dengan demikian, kebijakan diklat berbasis kompetensi ini diharapkan
dapat menjadi pendorong (trigerting) dalam memberikan pelayanan yang
baik.
b. Desentralisasi
Penyelenggaraan Diklat
Disadari bahwa sentralisasi penyelenggaraan Diklat
jelas tidak akan mempercepat proses peningkatan kompetensi sumber daya manusia
aparatur. Sentralisasi tersebut hanya mampu mengkompetenkan segelintir aparatur
saja. Di samping itu, kompetensi yang terbentuk belum tentu sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, mengingat jauhnya jarak antara masyarakat di level bawah
dengan birokrasi kediklatan di level pusat atau atas.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan mengamanahkan kebijakan desentralisasi dalam
penyelenggaraan diklat. Penyelenggaraan Diklal mulai dari Diklat Prajabatan,
Kepemimpinan (kecuali Diklatpim Tk. I), Diklat Fungsional dan Diklat Teknis
tidak lagi dimonopoli dan dipusatkan di lembaga-lembaga diklat pemerintah
pusat, melainkan didesentralisasikan di daerah. Bahkan, desentralisasi
penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III dan IV misalnya, sebenarnya sudah lama
dilakukan. Sebelum ini pun penyelenggaran Diklat Spama dan Adum sudah didesentralisasikan
ke daerah. Dengan PP 101/ 2000, penekanan aspek desentralisasi itu semakin
ditingkatkan dengan mendesentralisasikan pelaksanaan Diklatpim TK. II (dulu
SPAMEN) ke Lembaga Diklat Pemerintah lainnya.
Di samping Diklat Kepemimpinan, nuansa desentralisasi
juga mewarnai penyelenggaraan Diklat Prajabatan mulai dari Golongan I, II, dan
III. Terakhir, tuntutan desentralisasi itu menyentuh pula penyelenggaraan
Diklat Prajabatan Golongan III, khususnya pada proses budgetting system-nya
atau Sistem Pengajuan Anggaran, dimana mulai pada Tahun 2005 ini, pengajuan
anggaranpenyelenggaraan Diklat Prajabatan Golongan III sudah tidak
disentralisasikan lagi di Instansi Pembina Diklat, melainkan sudah diajukan
masing-masing instansi.
Untuk diklat fungsional dan diklat teknis, proses
desentralisasinya malah lebih jauh dengan menggeser pembinaannya kepada
Instansi Pembina Jabatan Fungsional dan Instansi Pembina Diklat Teknis,
walaupun tetap dalam kerangka pembinaan nasional oleh Instansi Pembina Diklat.
Bahkan untuk diklat teknis dan fungsional, penyelenggaraannya sudah tidak
dimonopoli oleh lembaga diklatpemerintah saja. Lembaga diklat swasta pun dapat
menjadi service provider di bidang ini. Dengan pergeseran ini, bermunculan
benih-benih inovasi dan kreativitas dalam penyelenggaraan diklat. Bermunculan
diklat-diklat yang substansinya sangat dekat dengan kebutuhan masyarakat, yang
sebagian atau keseluruhannya mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan prima.
Kreativitas ini tidak hanya terjadi di lembaga-lembaga
diklat instansi pemerintah pusat, di daerah pun energi desentralistis itu juga
bekerja, mendorong badanbadan diklat provinsi untuk merancang sebuah diklat
teknis yang bertumpu pada kondisi faktual daerah. Sebagai contoh, Badan Diklat
Provinsi Maluku telah mendesain sebuah diklat teknis yang terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini adalah dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang spesifik.
c. Kontrol
Bersama (Collective Control) Terhadap Kompetensi
Ketika pelayanan publik menjadi concern atau
perhatian semua pihak, maka mekanisme penyediaan pelayanan tidak boleh
dimonopoli oleh satu pihak saja, apalagi kalau pihak yang satu-satunya itu
menerapkan pendekatan sentralistikotoriter. Idealnya, mekanisme itu mutlak
dikelola dan dikontrol oleh lebih dari satu pihak, terutama oleh pihak-pihak
yang terkait secara langsung. Dengan kontrol bersama (collective control) ini,
maka otomatis terbangun suatu sistem yang built-in menggerakkan proses
ke arah penyempurnaan yang terus menerus mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Prinsip yang sama juga berlaku pada mekanisme
pembentukan kompetensi sumber daya manusia aparatur. Agar kompetensi yang akan
dibentuk dapat menampung semua kepentingan, maka keterlibatan pihak-pihak yang
berkepentingan mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam pembentukan kompetensi
PNS, pihak-pihak yang memiliki kewenangan adalah sebagai berikut:
1) Instansi Pembina Diklat.
LAN sebagai instansi pembina DikIaL bertanggungjawab
atas pembinaan Diklat secara keseluruhan. Pembinaan Diklat tersebut dilakukan
melalui penyusunan kurikulum Diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan Diklat,
standarisasi dan akreditasi Diklat, pengembangan sistem informasi Diklat,
pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat, pemberian bantuan
teknis melalui konsultasi, bimbingan di tempat kerja, kerjasama dalam
pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat.
2)
Instansi Pengendali Diklat
Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai instansi
pengendali Diklat bertugas melakukan pengembangan dan penetapan standar
kompetensi jabatan, termasuk standar kornpetensi jabatan di bidang pelayanan
publik. Di samping itu, BKN juga mengendalikan pemanfaatan lulusan Diklat.
3)
Pejabat Pembina Kepegawaian
Pejabat Pembina Kepegawaian bertugas melakukan
pemantauan dan penilaian secara periodik tentang kesesuaian antara penempatan
lulusan dengan jenis Diklat yang telah diikuti serta melaporkan hasilnya kepada
instansi pengendali.
4)
Instansi Penyelenggara
Instansi yang membawahi Lembaga Diklat terakreditasi
yang secara langsung menyelenggarakan Diklat dengan berkoordinasi dengan
Instansi Pembina.
5)
Baperjakat dan Tim Seieksi Peserta Diklat Instansi (TSPDI)
Bertugas memberikan pertimbangan kepada pejabat
pembina kepegawaian dalam penentuan calon peserta Diklat. Jika kedua unsur ini
bekerja dengan baik, maka peserta yang mengikuti diklat adalah mereka yang
belurn kompeten untuk bidang teitentu, termasuk bidang pelayanan publik.
Selesai mengikuti diklat, kompetensi tersebut akan diperolehnya untuk kemudian
dipergunakannya secara langsung di tempat kerjanya.
d.
Penerapan Total
QualityManagement,
Pasal 26 PP 101/2000 menggariskan paling tidak 8
(delapan) strategi pembinaan yang harus dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi
Negara sebagai Pembina Diklat antara lain melalui penyusunan pedoman diklat,
bimbingan dalam pengembangan program diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan
diklat, standarisasi dan akreditasi, pengembangan sistem informasi diklat,
pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan diklat & widyaiswara, dan
pemberian bantuan teknis melalui konsultansi, bimbingan di tempat kerja,
kerjasama pengembangan dan evaluasi diklat. Jika kedelapan strategi ini
diterapkan, maka kualitas penyelenggaraan diklat dapat terjamin.
Jika dikristalisasi, kedelapan strategi tersebut
mencerminkan penerapan prinsip-prinsip Total Quality Management yang
berisi tiga komponen utama, yakni penetapan standar kualitas (quality
standard), pelaksanaan jaminan qualitas (quality assurance), dan
pelaksanaan control kualitas (quality control).
1)
Standar kualitas
Sebagai Instansi Pembina Diklat, LAN telah
menetapkan standar-standar kualitas melalui penyusunan pedoman-pedoman diklat
yang menjadi acuan bagi lembagalembaga diklat dalam penyelenggaraan diklat.
2)
Jaminan kualitas
Untuk menjamin agar standar-standar kualitas
diterapkan secara konsisten, LAN mengkompetensikan lembaga-lembaga
penyelenggara diklat melalui kegiatan akreditasi dan sertifikasi lembaga diklat
untuk menyelenggarakan diklat tertentu Di samping kegiatan tersebut, secara
rutin LAN melaksanakan pembimbingan dan konsultansi kediklatan dalam berbagai
bentuk mulai dari membimbing para penyelenggara diklat untuk aspek-apsek
kediklatan yang bersifat prinsip seperti pengembangan kurikulum diklat,
menyusun sequence mata diklat dalam suatu program diklat sampai pada
kegiatan lainnya yang bersifat sangat teknis seperti tata cara penulisan STTPL.
Pembimbingan dan konsultansi kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan baik
secara langsung melalui kunjungan ke tempat kerja mereka atau sebaliknya maupun
secara tidak langsung melalui komunikasi surat, telepon, dan internet.
Kegiatan lainnya adalah pengembangan modul, bahan
ajar atau materi, serta LAN juga akan menerbitkan Buku Panduan Fasilitator yang
akan membantu para Fasilitator Diklat dalam melakukan pengajaran sehingga
kualitas pengajaran pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di luar kelas
dapat lebih standar, sehingga kesenjangan kualitas dapat lebih dikurangi.
Untuk mendukung seluruh kegiatan pembinaan diklat
dalam memperoleh jaminan kualitas diklat, LAN sedang mengembangkan Sistem
Informasi Diklat Aparatur (SIDA) yang dapat diakses oleh siapa saja, khususnya stakeholders,
melalui situs internet dengan alamat html:www.sida.lan.go.idlj. Data dan
informasi yang terdapat dalam SIDA tersebut dapat membantu manajemen
penyelenggaraan diklat PNS dalam pengambilan keputusan, sehingga peningkatan
kualitas penyelenggaraan dapat lebih terfasilitasi.
3)
Kontrol kualitas
Dalam melaksanakan pengawasan kualitas diklat PNS,
maka berdasarkan pedoman penyelenggaraan masing-masing diklat, sudah merupakan
kewajiban setiap lembaga diklat yang menyelenggarakan diklat untuk melaporkan
rencana penyelenggaraan diklat sebelum dan sesudah diklat dilaksanakan kepada
instansi pembina. Di samping itu, secara rutin LAN juga melakukan monitoring
dan evaluasi penyelenggaraan diklat PNS, baik bagi lembaga diklat sudah
terakreditasi maupun bagi lembaga diklat yang masih bermitra dengan LAN sebagai
instansi pembina.
2. Strategi
Penyelenggaraan Diklat
Setiap lembaga penyelenggara Diklat harus memiliki
kompetensi diklat dalam arti berkemampuan menempa sumber daya manusia aparatur
(PNS) untuk memiliki kompetensi jabatan F'NS tertentu termasuk di bidang
pelayanan publik. Melalui strategi-strategi pembinaan yang diuraikan di atas
terutama melalui strategi quality assurance atau jaminan kualitas, setiap
lembaga Diklat memiliki kompetensi lembaga Diklat yang diwujudkan melalui
penerapan sistem penyelenggaraan diklat yang memperhatikan kualitas tiga unsur
utama yakni masukan, proses, dan keluaran diklat yang diuraikan berikut ini :
a.
Masukan Diklat
Masukan diklat adalah peserta diklat yang karena
jabatannya (struktural, fungsional dan fungsional umum) dipersyaratkan
mengikuti diklat untuk memenuhi standar kompetensi jabatannya; ditugaskan oleh
pejabat yang berwenang setelah lebih dahulu mendapat pertimbangan Baperjakat.
Untuk Seleksi peserta diklat kepemimpinan, LAN telah mengeluarkan Surat
Keputusan Kepala LAN Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tim Seleksi Peserta Diklat
Instansi Untuk Diklat Kepemimpinan, yang tujuannya mengatur keikutsertaan
peserta dalam Diklatpim agar yang terjaring sudah sesuai dengan kebutuhan
instansi. Untuk keikutsertaan peserta dalam diklat lainnya, tanggung jawab
berada pada Pembina Kepegawaian atau Baperjakat instansi masing-masing.
Peserta diklat sebagai masukan diklat memainkan
peranan yang menentukan dalam peningkatan mutu pelaksanaan diklat. Pengaturan
tentang keikutsertaan peserta ini dimaksudkan untuk menghindari kesan bahwa
peserta yang diikutkan dalam suatu diklat adalah mereka yang
"dibuang" sementara dari instansinya atau yang belum memiliki
pekerjaan yang "permanen". Dalam operasionalnya, seleksi peserta
dapat dilakukan dengan cara pemberian tes yang terkait dengan kompetensi
jabatan yang harus dimiliki, atau melalui suatu proses analisa kebutuhan
diklat. Kedua cara ini akan membagi peserta ke dalam dua bagian, yakni perlu
mengikuti diklat dan tidak perlu mengikuti diklat. Kelompok pertama inilah yang
perlu mengikuti diklat.
b.
Proses Diklat
Masukan diklat yang tepat, tidak akan berarti banyak
apabila unsur-unsur yang memprosesnya kurang maksimal. Oleh karena itu, setiap
penyelengara diklat perlu memperhatikan kualitas unsur-unsur yang memproses
masukan diklat tersebut. Unsur-unsur yang memproses masukan diklat itu meliputi
empat bagian besar, yakni: kelembagaan diklat, program diklat, SDM
penyelenggara diklat, dan widyaiswara.
Untuk memastikan bahwa keempat unsur tersebut berada
pada kondisi maksimal dalam memproses masukan diklat, maka diperlukan
akreditasi dan sertifikasi. Terkait dengan pelaksanaan akreditasi itu, Lembaga
Administrasi Negara sebagai instansi pembina diklat telah menerbitkan Pedoman
Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Diklat sebagaimana yang diatur dalam
keputusan kepala LAN Nomor 194/XIII/ 10/6/2001.
c.
Keluaran Diklat
Setelah melalui Seleksi Calon Peserta Diklat di
instansi masing-masing sesuai yang dipersyaratkan, kemudian mengikuti proses
diklat pada lembaga diklat yang keempat unsur-unsurnya telah terakreditasi,
pada akhirnya akan dihasilkan keluaran diklat yang memiliki kompetensi sesuai
persyaratan jabatannya.
Setelah selesainya penyelenggaraan suatu diklat,
proses diklat sebenarnya belum berakhir. Lembaga diklat masih harus memantau
kinerja lulusannya dalam bentuk evaluasi pasca diklat yang tujuannya untuk
mengetahui sejauh mana efektifitas kompetensi yang telah dimiliki oleh peserta
tadi, dapat dimanfaatkan dalam tempat kerjanya. Jika terbukli bahwa yang
bersangkutan sudah kompeten melakukan tugastugasnya, maka barulah diklat dapat
dikatakan berhasil. Tetapi jika ternyata tugastugas belum dapat dilaksanakan
dengan baik yang disebabkan karena kekurang kompetensiannya, maka PNS yang
bersangkutan perlu di-retraining atau dilatih ulang.
Rekruitmen
Pegawai
Menurut McKenna (2008) perekrutan
dan seleksi adalah perencanaan yang digunakan perusahaan dalam berhubungan
dengan penyediaan tenaga kelompok kandidat untuk mengisi posisi yang lowong,
dan seleksi adalah teknik pemilihan anggota baru organisasi dari kandidat yang
tersedia.
Tujuan proses perekrutan adalah untuk menghasilkan
daftar kandidat yang latar belakang dan kemampuannya sesuai dengan profil yang
terdapat pada spesifikasi pekerjaan (Mondy & Noe, 2005). Maka jika terdapat
sejumlah besar pelamar, proses akan memakan banyak waktu.
Proses perekrutan pada umumnya melibatkan faktor
lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Kedua faktor tersebut akan
mempengaruhi perencanaan pencarian tenaga kerja yang pada akhirnya akan
menemukan beberapa alternatif perekrutan yang menjadi pertimbangan. Setelah
adanya beberapa alternatif, maka akan berlanjut pada keputusan melakukan
perekrutan. Dimana perekrutan ini akan berlanjut pada proses pencarian sumber
yang tepat, yaitu eksternal atau internal. Ketika perusahaan menggunakan sumber
eksternal, tentulah perusahaan tersebut harus menggunakan eksternal methods
yaitu membuat calon-calon tenaga kerja yang potensial agar tertarik pada
perusahaan. Sedangkan ketika perusahaan menggunakan sumber internal, maka
perusahaan harus menggunakan internal methods yaitu membuat para karyawan di
dalam perusahaan termotivasi untuk mengisi jabatan yang sedang dibutuhkan. Pada
akhirnya, proses perekrutan ini mencapai pada pemilihan tenaga kerja secara
individual.
Penilaian
Kinerja dan Instrumen Pengukuran Kinerja
Penilaian Kinerja adalah salah satu tahapan penting
dalam siklus pengembangan sumber daya manusia, baik di sektor publik maupun di
sektor swasta.
Sistem penilaian kinerja berdasarkan:
1.
Keadilan
2.
Transparan
3.
Independensi
4.
Pemberdayaaan
5.
Non diskriminasi
6.
Semangat berkompetisi
Instrumen
Pengukuran Kinerja adalah alat yang dipakai untuk mengukur kinerja individu seorang pegawai
yang meliputi prestasi kerja, keahlian, perilaku, dan kepemimpinan.
2.1.4
Akuntabilitas
Pengertian
akuntabilitas
Akuntabilitas
adalah kemampuan memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas
tindakan seseorang/sekelompok orang terhadap masyarakat luas dalam suatu
organisasi (Syahrudin Rasul, 2002:8).
Sedangkan
menurut UNDP, akuntabilitas adalah evaluasi terhadap proses pelaksanaan
kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai
umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja
organisasi pada masa yang akan datang.
Akuntabilitas
merupakan konsep yang komplek yang lebih sulit mewujudkannya dari pada
memberantas korupsi. Akuntabilitas adalah keharusan lembaga-lembaga sektor
publik untuk lebih menekan pada pertanggungjawaban horizontal (masyarakat)
bukan hanya pertanggungjawaban vertikal (otoritas yang lebih tinggi). (Turner
and Hulme, 1997).
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari seseorang atau sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tertentu kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari seseorang atau sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tertentu kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Tingkatan
Akuntabilitas
Tingkatan akuntabilitas menurut majalah Akuntansi:
1. Akuntabilitas Personal. Akuntabilitas berkaitan dengan
diri sendiri.
2. Akuntabilitas Individu. Akuntabilitas yang berkaitan
dengan suatu pelaksanaan.
3. Akuntabilitas Tim. Akuntabilitas yang dibagi dalam
kerja kelompok atau tim.
4. Akuntabilitas Organisasi. Akuntabilitas Internal dan
Eksternal didalam organisasi.
5. Akuntabilitas Stakeholders. Akuntabilitas yang terpisah antara
stakeholders dan organisasi.
Dimensi akuntabilitas
Dimensi akuntabilitas ada 5, yaitu (Syahrudin Rasul,
2002:11):
1.
Akuntabilitas
hukum dan kejujuran (accuntability for probity and legality)
Akuntabilitas hukum terkait dengan
dilakukannya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam
organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran
penyalahgunaan jabatan, korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menjamin
ditegakkannya supremasi hukum, sedangkan akuntabilitas kejujuran menjamin
adanya praktik organisasi yang sehat.
2.
Akuntabilitas
manajerial
Akuntabilitas manajerial yang dapat
juga diartikan sebagai akuntabilitas kinerja (performance accountability)
adalah pertanggungjawaban untuk melakukan pengelolaan organisasi secara efektif
dan efisien.
3.
Akuntabilitas
program
Akuntabilitas program juga berarti
bahwa programprogram organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu dan
mendukung strategi dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Lembaga
publik harus mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada
pelaksanaan program.
4.
Akuntabilitas
kebijakan
Lembaga-lembaga publik hendaknya
dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan dampak dimasa depan. Dalam membuat kebijakan harus
dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu dilakukan.
5.
Akuntabilitas
financial
Akuntabilitas ini merupakan
pertanggungjawaban lembagalembaga publik untuk menggunakan dana publik (public
money) secara ekonomis, efisien dan efektif, tidak ada pemborosan dan
kebocoran dana, serta korupsi. Akuntabilitas financial ini sangat penting
karena menjadi sorotan utama masyarakat. Akuntabilitas ini mengharuskan
lembaga-lembaga publikuntuk membuat laporan keuangan untuk menggambarkan
kinerja financial organisasi kepada pihak luar.
Aspek-Aspek Akuntabilitas
a.
Akuntabitas adalah sebuah
hubungan
Akuntabilitas
adalah komunikasi dua arah sebagaimana yang diterangkan oleh Auditor General
Of British Columbia yaitu merupakan sebuah kontrak antara dua pihak
b.
Akuntabilitas Berorientasi
Hasil
Pada stuktur
organisasi sektor swasta dan publik saat ini akuntabilitas tidak melihat kepada
input ataupun autput melainkan kepada outcome.
c.
Akuntabilitas memerlukan
pelaporan
Pelaporan
adalah tulang punggung dari akuntabilitas
d.
Akuntabilitas itu tidak ada artinya
tanpa konsekuensi
Kata kunci
yang digunakan dalam mendiskusikan dan mendefinisikan akuntabilitas adalah
tanggung jawab. Tanggung jawab itu mengindikasikan kewajiban dan kewajiban
datang bersama konsekuensi.
e.
Akuntabilitas meningkatkan kinerja
Tujuan dari
akuntabilitas adalah untuk meningkatkan kinerja, bukan untuk mencari kesalahan
dan memberikan hukuman.
Alat-alat
Akuntabilitas
1. Rencana
Strategis
Rencana strategis adalah suatu
proses yang membantu organisasi untuk memikirkan tentang sasaran yang harus
diterapkan untuk memenuhi misi mereka dan arah apa yang harus dikerjakan untuk
mencapai sasaran tersebut. Hal tersebut adalah dasar dari semua perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kegiatan suatu organisasi.
Manfaat dari Rencana Stratejik antara lain membantu kesepakatan sekitar tujuan,
sasaran dan prioritas suatu organisasi; menyediakan dasar alokasi sumber daya
dan perencanaan operasional; menentukan ukuran untuk mengawasi hasil; dan
membantu untuk mengevaluasi kinerja organisasi.
2. Rencana
Kinerja
Rencana kinerja menekankan komitmen
organisasi untuk mencapai hasil tertentu sesuai dengan tujuan, sasaran, dan
strategi dari rencana strategis organisasi untuk permintaan sumber daya yang
dianggarkan.
3. Kesepakatan
Kinerja
Kesepakatan kinerja didesain, dalam
hubungannya antara dengan yang melaksanakan pekerjaan untuk menyediakan sebuah
proses untuk mengukur kinerja dan bersamaan dengan itu membangun akuntabilitas.
4. Laporan
Akuntabilitas
Dipublikasikan tahunan, laporan
akuntabilitas termasuk program dan informasi keuangan, seperti laporan keuangan
yang telah diaudit dan indikator kinerja yang merefleksikan kinerja dalam
hubungannya dengan pencapaian tujuan utama organisasi.
5. Penilaian
Sendiri
Adalah proses berjalan dimana
organisasi memonitor kinerjanya dan mengevaluasi kemampuannya mencapai tujuan
kinerja, ukuran capaian kinerjanya dan tahapan-tahapan, serta mengendalikan dan
meningkatkan proses itu.
7. Penilaian
Kinerja
Adalah proses berjalan untuk
merencanakan dan memonitor kinerja. Penilaian ini membandingkan kinerja aktual
selama periode review tertentu dengan kinerja yang direncanakan. Dari hasil
perbandingan tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, perubahan atas
kinerja yang diterapkan dan arah masa depan bisa direncanakan.
8. Kendali
Manajemen
Akuntabilitas manajemen adalah
harapan bahwa para manajer akan bertanggungjawab atas kualitas dan ketepatan
waktu kinerja, meningkatkan produktivitas, mengendalikan biaya dan menekan
berbagai aspek negatif kegiatan, dan menjamin bahwa program diatur dengan
integritas dan sesuai peraturan yang berlaku.
2.1.5
Kualitas
Pelayanan
Pengertian
Kualitas
Pengertian atau makna atas konsep kualitas
telah diberikan oleh banyak pakar dengan berbagai sudut pandang yang berbeda,
sehingga menghasilkan definisi-definisi yang berbeda pula. Goesth dan Davis
yang dikutip Tjiptono, mengemukakan bahwa kualitas diartikan “sebagai suatu
kondisi dinamis dimana yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses
dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.”(Tjiptono, 2004:51).
Kemudian Triguno juga mengungkapkan hal yang senada tentang kualitas, yang
dimaksud dengan kualitas adalah, “Suatu standar yang harus dicapai oleh
seseorang atau kelompok atau lembaga atau organisasi mengenai kualitas sumber
daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang
berupa barang dan jasa.” (Triguno, 1997:76). Pengertian kualitas tersebut
menunjukan bahwa kualitas itu berkaitan erat dengan pencapaian standar yang
diharapkan.
Berbeda dengan Lukman yang
mengartikan kualitas adalah “sebagai janji pelayanan agar yang dilayani itu merasa
diuntungkan.”(Lukman, 2000:11). Kemudian Ibrahim melihat bahwa kualitas itu
“sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang
memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan eksternal, secara
eksplisit maupun implisit.” (Ibrahim, 1997:1).
Pengertian yang lebih rinci tentang kualitas diberikan oleh
Tjiptono, setelah melakukan evaluasi dari definisi kualitas beberapa pakar,
kemudian Tjiptono menarik 7 (tujuh) definisi yang sering dikemukakan terhadap
konsep kualitas, definisi-definisi kualitas menurut Tjiptono tersebut, adalah
sebagai berikut:
1.
Kesesuaian dengan persyaratan atau tuntutan;
2.
Kecocokan untuk pemakaian;
3.
Perbaikan atau penyempurnaan berkelanjutan:
4.
Bebas dari kerusakan atau cacat;
5.
Pemenuhuan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan
setiap saat;
6.
Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak
awal; dan
7.
Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan.
(Tjiptono,1997:2).
Dari
pengertian tersebut tampak bahwa, disamping kualitas itu menunjuk pada
pengertian pemenuhan standar atau persyaratan tertentu, kualitas juga mempunyai
pengertian sebagai upaya untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan secara
terus menerus dalam pemenuhan kebutuhan pelanggan sehingga dapat memuaskan
pelanggan.
Pengertian Pelayanan
Pelayanan
publik/umum merupakan salah satu fungsi utama dari pemerintah. Pemerintah
berkedudukan sebagai lembaga yang wajib memberikan atau memenuhi kebutuhan
masyarakat. Pelayanan merupakan terjemahan dari istillah service dalam
bahasa Inggris yang menurut Kotler yang dikutip Tjiptono, yaitu berarti “setiap
tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak ke pihak yang
lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan
tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu”.(Tjiptono,2004:6). Kemudian Sutopo dan
Sugiyanti mengemukakan bahwa pelayanan mempunyai pengertian sebagai “membantu
menyiapkan (atau mengurus) apa yang diperlukan seseorang”.(Sutopo dan
Sugiyanti, 1998:25).
Sebagai
suatu produk, pelayanan (service) mempunyai sifat yang khas, yang menyebabkan
berbeda dengan produk yang lain. Menurut Martiani pelayanan mempunyai lima
sifat dasar sebagai berikut:
1.
Tidak berwujud (intangible)
2.
Tidak dapat dipisah-pisahkan (inseperability)
3.
Berubah-ubah / beragam (variability)
4.
Tidak tahan lama (perishability)
5.
Tidak ada kepemilikan (unowwership).
(Martiani, 1995:1). Dalam kaitannya dengan pelayanan umum
Sedarmayanti mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan umum adalah
“melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang”.(Sedarmayanti,
1999:195). Hal senada juga diungkapkan oleh Saefullah, yang menyatakan bahwa
“pelayanan umum (public service) adalah pelayanan yang diberikan pada
masyarakat umum yang menjadi warga negara atau yang secara sah menjadi penduduk
negara yang bersangkutan.”(Saefullah, 1999:5).
Kemudian pelayanan publik menurut Pamudji adalah “berbagai
kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di
bidang barang dan jasa.”(Pamudji, 1994:21). Adapun yang dimaksud pelayanan
publik menurut Ndraha, yaitu “Proses produksi barang dan jasa yang ditujukan
kepada publik.”(Ndraha, 2000:58). Lebih jelas lagi yang dimaksud dengan
pelayanan umum, telah disebutkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, adalah
sebagai berikut: “Segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik
Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya
pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan .”(Kepmenpan No.81 tahun 1993: Pendahuluan).
Beberapa pengertian pelayanan umum diatas mengemukakan bahwa
pelayanan umum atau pelayanan publik merupakan berbagai kegiatan yang harus
dilakukan oleh pemerintah baik di Pusat, di Daerah, dan BUMN/BUMD untuk
memenuhi kebutuhan yang menjadi tuntutan dari masyarakat. Kebutuhan tersebut
meliputi produk pemerintah yang berupa barang dan jasa yang tergolong sebagai
jasa publik dan layanan sipil. Pelayanan umum dilaksanakan dalam suatu
rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat,
lengkap, wajar, dan terjangkau sehingga pelayanan umum harus mengandung
unsur-unsur seperti yang telah disebutkan dalam Kepmenpan No.81 tahun 1993,
yaitu sebagai berikut:
1.
Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima
pelayanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing
pihak.
2.
Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus
disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap
berpegang pada efisiensi dan efektivitas.
3.
Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus
diusahakan agar dapat memberikan kenyamanan, keamanan, kelancaran, dan
kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
4.
Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh
instansi pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang
bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut
menyelenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Kepmenpan No.81 tahun1993 )
Mengenai hak dan kewajiban pemberi maupun penerima pelayanan
umum telah dijelaskan dalam pasal 4-7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Pemerintah sebagai pemberi pelayanan umum harus
memperhatikan hak-hak masyarakat sebagai pengguna layanan, yaitu sebagai
berikut:
1.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan.
3.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas
barang dan/atau jasa yang digunakan.
5.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7.
Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
(Pasal
4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999) Hak dan kewajiban masyarakat dalam menerima
pelayanan merupakan hak yang mutlak didapatkan oleh setiap masyarakat. Pasal 4
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dijelaskan bahwa setiap masyarakat berhak
mendapatkan perhatian atas pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
tanpa terkecuali. Menurut Nisjar ada beberapa ciri-ciri atau kriteria dari
pelayanan umum, sebagaimana yang dikutip oleh Sedarmayanti, yaitu sebagai
berikut:
1. Prosedur
pelayanan harus mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan, sehingga terhindar
dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan, berbelit-belit.
2. Pelayanan
diberikan secara jelas dan pasti, sehingga ada suatu kejelasan dan kepastian
bagi pelanggannya dalam menerima pelayanan tersebut.
3.
Pemberian pelayanan senantiasa diusahakan agar
pelayanan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
4.
Pelayanan harus senantiasa memperhatikan
kecepatan dan ketepatan waktu yang sudah ditentukan.
5.
Pelanggan setiap saat dapat dengan mudah
memperoleh berbagai informasi yang berkaitan dengan pelayanan secara terbuka.
6. Dalam
berbagai kegiatan pelayanan, baik teknis maupun admnistrasi pelanggan selalu
diperlakukan dengan motto: costumer is king and costumer is always right.
(Sedarmayanti,
1999:195). Pelayanan kepada masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi
aparatur pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga
penyelenggaraannya harus terus ditingkatkan sesuai dengan sasaran pembangunan.
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 telah
ditetapkan 8 (delapan) sendi pelayanan yang harus dapat dilaksanakan oleh
instansi atau satuan kerja dalam suatu departemen yang berfungsi sebagai unit
pelayanan umum. Kedelapan sendi yang dimaksud dijelaskan lebih lanjut oleh
Sedarmayanti, sebagai berikut:
1.
Kesederhanaan, berarti bahwa tata cara /
prosedur pelayanan umum dapat diterapkan secara lancar, cepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilakukan. Ada informasi pelayanan
yang dapat berupa loket informasi, layanan pengaduan disertai petunjuk
pelayanan.
2.
Kejelasan dan kepastian, artinya tertera dengan
jelas waktu pelayanan, berapa dan bagaimana syarat pelayanan, dicantumkan jam
kerja kantor untuk pelayanan masyarakat, jadwal dan pelaksanaan pelayanan,
pengaturan tarif, dan terdapat pengaturan tugas dan penunjukan petugas sesuai
dengan keahlian yang dimiliki pegawai.
3.
Keamanan, berarti hasil produk pelayanan
memenuhi kualitas teknis (aman) dan dilengkapi dengan jaminan purna pelayanan
secara administratif (pencatatan dokumentasi, tagihan), dilengkapi dengan
sarana dan prasarana pelayanan (peralatan) yang dimanfaatkan secara optimal.
Penataan ruang dan lingkungan kantor yang diupayakan rapi, bersih, dan
memberikan rasa aman.
4.
Keterbukaan, berarti adanya upaya publikasi atau
penyebaran informasi yang dilakukan melalui media atau bentuk penyuluhan
tentang adanya pelayanan yang dimaksud.
5.
Efisiensi, berarti bahwa persyaratan pelayanan
ditujukan langsung dengan pencapaian sasaran.
6.
Ekonomis, berarti adanya kewajaran dalam
penetapan biaya, harus disesuaikan dengan nilai barang atau jasa pelayanan.
7.
Keadilan yang merata, berarti pelayanan harus
diupayakan untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat melalui distribusi
yang adil dan merata, juga tidak memperbolehkan adanya diskriminasi.
8.
Ketepatan waktu, artinya organisasi harus dapat
melayani dengan cepat dan tepat sesuai dengan aturan yang berlaku, petugas
harus tanggap dan peduli dalam memberikan pelayanan, termasuk disiplin dan
kemampuan melaksanakan tugas. Dari segi etika, keramahan dan sopan santun juga
perlu diperhatikan.
9.
(Sedarmayanti, 1999:200-201).
Jenis-Jenis
Pelayanan
Membicarakan tentang pelayanan tidak bisa dilepaskan dengan
manusia, karena pelayanan mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan hidup manusia,
baik itu sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Keanekaragaman dan
perbedaan kebutuhan hidup manusia menyebabkan adanya bermacam-macam jenis
pelayanan pula, dalam upaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia tersebut.
Dilihat dari bidang kegiatan ekonomi, Fitzsmmons yang dikutip oleh Saefullah,
membedakan lima jenis pelayanan umum, yaitu sebagai berikut:
1.
Business service, menyangkut pelayanan
dalam kegiatan-kegiatan konsultasi, keuangan dan perbankan;
2.
Trade service, kegiatan-kegiatan
pelayanan dalam penjualan, perlengkapan, dan perbaikan;
3.
Infrastructur service, meliputi
kegiatan-kegiatan pelayanan dalam komunikasi dan transportasi;
4.
Social and personal service, pelayanan
yang diberikan antara lain dalam kegiatan rumah makan dan pemeliharaan kesehatan;
dan
5.
Public administration, yang dimaksudkan
disini adalah pelayanan dari pemerintah yang membantu kestabilan dan
pertumbuhan ekonomi. (Saefullah, 1999:7-8).
Kemudian menurut Ndraha, pelayanan publik terdiri dari
layanan publik, jasa publik maupun layanan civil. Lebih lanjut ia menjelaskan
perbedaan antara layanan publik dengan layanan civil, sebagai berikut: “Layanan
civil (civil service) berbeda dengan layanan publik (public service).
Layanan civil tidak dijual beli, dimonopoli oleh badan-badan publik
(pemerintah, negara), dan tidak boleh diprivatisasikan (diswastakan), sedangkan
layanan publik dijual beli, di bawah kontrol legislatif”. (Ndraha, 2000:56).
Setelah
mempelajari berbagai pembagian jenis-jenis pelayanan umum (Public service),
Saefullah menyimpulkan bahwa pada dasarnya secara garis besar pelayanan umum
yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dapat dibedakan menjadi 2
(dua) kelompok besar, yaitu sebagai berikut: “Pertama, pelayanan umum yang
diberikan tanpa memperhatikan orang perseorang, tetapi keperluan masyarakat
secara umum. Dalam pelayanan ini meliputi penyediaan sarana dan prasarana
transportasi, penyediaan pusat-pusat kesehatan, pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan, pemeliharaan keamanan, dan lain sebagainya. Kedua, pelayanan yang
diberikan secara orang perseorangan, pelayanan ini meliputi kemudahan-kemudahan
dalam memperoleh pemeriksaan kesehatan, memasuki lembaga pendidikan, memperoleh
kartu penduduk, pembelian karcis perjalanan dan sebagainya”. (Saefullah,
1999:8)
Dari
bebagai pendapat tentang pembagian jenis-jenis pelayanan umum yang diberikan
oleh pemerintah kepada masyarakat terlihat bahwa pelayanan umum mencakup
lingkup kegiatan dan jenis-jenis yang sangat luas. Dengan kata lain, persoalan
pelayanan umum dalam satu pemerintahan merupakan permasalahan yang sangat
kompleks dan karena itu membutuhkan perhatian semua kalangan, baik dari
pemerintah sebagai pihak pemberi layanan maupun dari masyarakat sebagai pihak
yang menerima pelayanan.
Pengertian
Kualitas Pelayanan
Sebagai salah satu fungsi utama pemerintah maka pelayanan
tersebut sudah seharusnya dapat diselenggarakan secara berkualitas oleh
pemerintah. Kualitas pelayanan umum menurut Wyckof yang dikutip Tjiptono, yaitu
sebagai berikut: “Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan
dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan
pelanggan. Apabila jasa atau pelayanan yang diterima atau dirasakan (perceived
service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan
dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa atau pelayanan yang diterima
melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan
sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa atau pelayanan yang diterima
lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan
dipersepsikan buruk”.(Tjiptono, 2004:59).
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan diatas oleh tiptono
maka dapat diindikasikan bahwa sebuah kualitas pelayanan yang diharapkan oleh
masyarakat sebagai penerima layanan mengharapkan tingkat keunggulan dari setiap
jasa pelayanan yang didapat dari pelayanan yang didapatkan sebelumnya. Bila
pelayanan yang diberikan melampaui harapan dari masyarakat pelanggan maka
kualitas pelayanan yang diberikan akan mendapatkan persepsi yang ideal dari
para penerima pelayanan. Lebih jelas lagi Gasperz yang dikutip Lukman,
mengungkapkan sejumlah pengertian pokok dari kualitas pelayanan, yaitu sebagai
berikut : “Pada dasarnya kualitas pelayanan mengacu pada pengertian pokok:
1. kualitas
terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun
keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian
memberikan kepuasaan atas penggunaan produk itu.
2. kualitas
terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari segala kekurangan atau kerusakan”.
(Lukman,2000:7).
Pengertian pokok kualitas pelayanan seperti yang dijelaskan
diatas menunjukan bahwa. Kualitas pelayanan adalah kualitas yang terdiri dari
keistimewaan dari berbagai pelayanan yang bertujuan untuk memenuhi kepuasan
atas pelayanan yang didapat tersebut. Pendapat diatas ditegaskan oleh Boediono,
bahwa pada hakekatnya pelayanan umum yang berkualitas itu adalah:
1.
Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan
tugas dan fungsi instansi pemerintah dibidang pelayanan umum.
2.
Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata
laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselengarakan secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna.
3.
Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan
peran serta masyarakat dalam membangun serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat luas. (Boediono, 1999:63).
Hakekat pelayanan umum berkualitas yang diartikan oleh
budiono adalah berdasarkan pada hakekat yang memprioritaskan peningkatan mutu
pelayanan dan kemampuan dari penyedia pelayanan kepada penerima layanan agar
pelayanan yang diberikan lebih berdaya dan berhasil guna. Kemudian
Sedarmayanti, menyebutkan bahwa pada dasarnya kualitas pelayanan umum itu
meliputi, sebagai berikut:
1. Aspek
kemampuan sumber daya manusia yang terdiri dari keterampilan, pengetahuan, dan
sikap diupayakan untuk ditingkatkan, maka hal tersebut akan mempengaruhi
pelaksanaan tugasnya, dan apabila pelaksanaan tugas dilakukan secara lebih
profesional, maka akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.
2. Apabila
sarana dan prasarana dikelola secara tepat, cepat dan lengkap, sesuai dengan
kebutuhan atau tuntutan masyarakat, maka hal tersebut akan menghasilkan
kualitas pelayanan yang lebih baik.
3. Prosedur
yang dilaksanakan harus memperhatikan dan menerapkan ketepatan prosedur,
kecepatan prosedur, serta kemudahan prosedur, sehingga dapat meningkatkan
kualitas pelayanan yang lebik baik dari sebelumnya.
4. Bentuk jasa yang diberikan kepada masyarakat
dapat berupa kemudahan dalam memperoleh informasi, ketepatan, kecepatan pelayanan,
sehingga kualitas pelayanan yang lebih baik akan dapat diwujudkan.
(Sedarmayanti, 1999:207-208).
Pelayanan umum baru dapat dikatakan berkualitas jika sesuai
dengan harapan/keinginan atau kebutuhan penerima layanan, untuk dapat
mengetahui apakah pelayanan umum yang diberikan pemerintah sesuai dengan
keinginan atau kebutuhan masyarakat sebagai pengguna layanan, maka kualitas
pelayanan umum harus diukur dan dinilai oleh masyarakat pengguna layanan. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Lukman dan Sugiyanto, yang menyatakan bahwa:
“Kualitas pelayanan berhasil dibangun, apabila pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan
terhadap keprimaan sebuah pelayanan, bukan datang dari aparatur yang memberikan
pelayanan, melainkan datang dari pengguna jasa layanan.”(Lukman, 2001:12).
Hal senada pun diungkapkan oleh Tjiptono, yang menyebutkan
bahwa: “Citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau
persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi
pelanggan. Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa, sehingga
merekalah yang seharusnya menentukan kualitas pelayanan umum. Persepsi
pelanggan terhadap kualitas jasa atau pelayanan merupakan penilaian menyeluruh atas
keunggulan suatu pelayanan.”(Tjiptono, 2004:61).
Sinambela
(2010, hal : 6), secara teoritis tujuan pelayanan publik padadasarnya adalah
memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan
prima yang tercermin dari :
1.
Transparan. Pelayanan
yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang
membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2.
Akuntabilitas.
Pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3.
Kondisional. Pelayanan
yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan
tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4.
Partisipatif. Pelayanan
yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5.
Kesamaan Hak. Pelayanan
yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku,
ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.
6.
Keseimbangan Hak Dan
Kewajiban Pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan
penerima pelayanan publik.
Dimensi
Kualitas Pelayanan
Pada
dasarnya, kualitas pelayanan berfokus kepada upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaianya untuk mengimbangi harapan
pelanggan. Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas
perusahaan menurut Lupiyoadi (2001, hal : 147) adalah kemampuan perusahaan
dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Salah satu pendekatan kualitas pelayanan
yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model SERVQUAL (Service
Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam
serangkaian penelitian mereka yang melibatkan 800 pelanggan terhadap enam
sektor jasa : reparasi, peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi,
sambungan telepon jarak jauh, perbankan ritel, dan pialang sekuritas
disimpulkan bahwa terdapat lima dimensi SERVQUAL sebagai berikut (Parasuraman et
al, 1998) :
1. Tangibles,
atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan
eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan
prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata
dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik
(gedung, gudang, dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang
dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2. Reliability,
atau kehandalan yaitu kemampuan
perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti
ketepatan waktu, pelayanan yang sama, untuk semua pelanggan tanpa kesalahan,
sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3. Responsiveness,
atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberi pelayanan
yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi
yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas
menyebabkan persepsi yang negatif dalam pelayanan.
4. Assurance,
atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan
para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada
perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi (communication),
kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence),
dan sopan santun (courtesy).
5. Emphaty,
yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang
diberikan kepada para pelanggan dengan berupayamemahami keinginan konsumen. Dimana
suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang
pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu
pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan
Pada
dasarnya, definisi kualitas
pelayanan berfokus kepada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan
serta ketepatan penyampaianya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Dengan kata
lain, terdapat faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa,yaitu jasa yang
diharapkan (expected servic) dan jasa yang dipersepsikan (perceived
service) (Zeithalm, Berry : 1985) Gasperz menyebutkan bahwa ada beberapa
dimensi yang harus diperhatikan dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan demi
pencapaian maksimal, yaitu :
1.
Ketepatan waktu pelayanan, hal yang perlu
diperhatikan disini adalah berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses.
2.
Akurasi pelayanan, yang berkaitan dengan
reliabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.
3.
Kesopanan dan keramahan dalam memberikan
pelayanan, terutama mereka yang berinteraksi langsung dengan pelanggan eksternal.
Citra pelayanan dan industri jasa sangat ditentukan oleh orang-orang dan
perusahaan yang berada di garis depan pelayanan langsung kepada pelanggan eksternal.
4.
Tanggung jawab, yang berkaitan dengan penerimaan
pesanan, maupun penanganan keluhan dari pelanggan eksternal.
5.
Kelengkapan, menyangkut lingkup pelayanan dan
ketersediaan sarana pendukung serta pelayanan komplementer lainnya.
6.
Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, berkaitan
dengan banyaknya petugas yang melayani.
7.
Variasi model pelayanan, berkaitan dengan
inovasi untuk memberikan pola-pola baru pelayanan, Features di pelayanan
lainnya.
8.
Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas,
penanganan permintaan khusus dan lain-lain.
9.
Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan
dengan lokasi, ruangan, tempat pelayanan, kemudahan terjangkau, tempat
parkir kendaraan, ketersediaan
informasi, petunjuk-petunjuk dan bentuk-bentuk lainnya.
10.
Atribut pendukung pelayanan lainnya. (Gasperz,
1997 : 235-236)
Unsur-unsur
yang dapat digunakan untuk mengukur atau mengevaluasi kepuasan pengguna jasa
terhadap produk atau jasa dari perusahaan atau organisasi yang bergerak
dibidang jasa tertentu dapat diketahui dari perilaku pengguna jasa. Menurut
Zeithaml wujud dari perilaku pengguna jasa yang puas sebagai berikut :
1.
Loyality (kesetiaan)
2.
Paymore (membayar lebih)
3.
External response(respon luar)
4.
Internal response.(respon dalam)
(Zeithaml, 1997 : 37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar