Kamis, 13 Juni 2013

RAN - PLK BAB II

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1  Reformasi Birokrasi
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180).
Reformasi birokrasi berdasarkan teori Max Weber adalah upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control, division of labor, line and staff, ru;e and regulation, and professional staff (Setiyono, 2004).  Sementara itu, Michael Dugget, Director General IIAS mendefinisikan reformasi birokrasi sebagai “proses yang dilakukan secara kontine untuk mendesain ulang birokrasi yang berada di lingkungan pemerintah dan partai politik sehingga dapat berdaya guna dan berhasil guna baik ditinjau dari segi hukum maupun politik”.Selain itu juga Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik. Hal penting dalam reformasi birokrasi adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja. Reformasi Birokrasi diarahkan pada upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government), dan bebas KKN.
2.1.1        Kelembagaan
Menurut Purwaka, 2008, kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi :
1.      Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai tujuan;
2.      Tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hokum yang rasional;
3.      Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagiamana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum dengan argumentasi yang rasional;
4.      Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi rasional;
5.      Sumberdaya manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasar hukum serta dengan argumentasi yang rasional;
6.      Sumberdaya manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal;
7.      Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional;
8.      Jejaring kerja antar lembaga sebagaimana dapat dipahami melalui penafsiran dan penalaran terhadap lendasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional; dan
9.      Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hokum disertai dengan argumentasi yang rasional.
Tata kelembagaan terdiri dari (Purwaka 2008):
Kapasitas potensial (potensial capasity), yaitu kemampuan potensial dari tata kelembagaan yang harus dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Kapasitas potensial mencakup:
a.       Perumusan landasan hukum yang terdiri dari peraturan perundangundangan yang diberlakukan sebagai aturan main kelembagaan;
b.      Penetapan tujuan, perumusan strategi, untuk mencapai tujuan, dan perumusan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta perumusan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari unsur-unsur kelembagaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.       Penempatan sejumlah sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
d.      Penempatan sumberdaya yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Daya dukung (carrying capacity), yaitu kemampuan tata kelembagaan untuk mendukung  suatu aktivitas tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Daya dukung kelembagaan meliputi:
a.       Upaya penafsiran dan penalaran terhadap utaian tugas pokok dan fungsi, dan landasan hukum kelembagaan yang berlaku, serta usaha pemberian argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut;
b.      Penempatan sejumlah sumberdaya manusia sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional;
c.       Penempatan sejumlah sumberdaya buatan sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; dan
d.      Pemberian beban tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas terpasang atau kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang ditempatkan, serta tujuan yang ingin dicapai.
Daya tampung (absorptive capasity), yaitu kemampuan menyerap dan/atau mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi tanpa harus mengubah jati diri kelembagaan yang sudah ada. Daya tampung disebut juga daya lentur kelembagaan meliputi:
a.       Upaya penafsiran dan penalaran terhadap perubaha lingkungan yang terjadi, serta pemberian argumentasi yang rasioanal terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut; dan
b.      Upaya penyerasian, penyelarasan dan penyesuaian antara kondisi kelembagaan yang ada (existing condition) dan perubahan lingkungan kelembagaan.
Menurut Purwaka (2008) kapasitas yang harus ada dalam tata kelembagaan harus dituangkan dalam wujud sebagai berikut:
1) Visi, misi, tujuan dan objek;
2) Bentuk lembaga;
3) Struktur organisasi;
4) Uraian tugas pokok dan fungsi;
5) Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang diperlukan; dan
6) Kualitas dan kuantitas sumberdaya buatan yang diperlukan.
2.1.2        Ketatalaksanaan
Menurut Majid, Marjilis (2010) Dalam sistem ketetalaksanaan mencakup proses pedoman umum standar operasi, mekanisme, tata kerja, hubungan kerja dan prosedur pada tingkat perencanaan dan pembuatan keputusan, pengorganisasian, pengelolaan, administrasi umum, keuangan, perlengkapan, pemantauan dan evaluasi kinerja organisasi serta melaksanakan koordinasi dan pengelolaan kearsipan, kurporalisasi, efesiensi dan tentang pengaturan budaya kerja, namun demikian saat ini kondisi pelaksanaan ketatalaksanaan masih belum mencerminkan penyelenggaraan penataan organisasi yang efesien, efektif pada organisasi pemerintahan daerah saat ini apalagi dalam pelaksanaan otonomi daerah dan perwujudan pemerintahan yang baik dipandang perlu untuk melakukan penyederhanaan sistem, prosedur, metoda dan tata kerja penyelenggara negara agar menjadi makin tertib dan efektif.
Pengertian Ketatalaksanaan Reformasi dalam bidang ketatalaksanaan ini biasanya juga disebut sebagai Reformasi sistem dan prosedur, yang diperlukan untuk menstandarkan sistem dan prosedur dilihat dari efektivitas, efisiensi,dan ekonomis (value for money). Satuan-satuan organisasi/unit-unit kerja di lingkungan Sekretariat Negara saat ini telah memiliki dan menerapkan sistem, prosedur, dan mekanisme kerja, serta standar pelayanan yang makin baku, jelas, efisien, dan efektif, dengan didukung makin optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang memadai. Sehingga pelaksanaan tugas pekerjaan dapat diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat, terukur, dan transparan, serta makin mengurangi peluang untuk terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).  Sebenarnya ketatalaksanaan berasal dari dua kata yaitu tata dan laksana, pengertian singkat dari tata adalah aturan, susunan, cara, sistem sedangkan pengertian dari laksana adalah sifat, perilaku, perbuatan. Jadi pengertian tatalaksana adalah cara mengurus (menjalankan, melaksanaan) aktivitas usaha instansi/perusahaan.
Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi, kemitraan, dan desentralisasi. Fungsi pemberdayaan, aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam proses pembangunan. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui.
1.       Pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat.
2.       Perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai kegiatan sosial ekonomi masyrakat.
3.       Pengembangan proses untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan mereka. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani (a spirit of public services), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat Esman dalam Moestopadidjaja (1997)
Tujuan dari pada pendayagunaan Ketatalaksanaan yaitu: mewujudkan tata laksana yg ringkas/simpel, efektif, efisien dan transparan, memberi pelayanan prima dan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan dalam Ketatelaksanaan: diarahkan pd perubahan sistem manajemen dgn konsep manajemen modern agar cepat, akurat, pendek jaraknya. Pemanfaatan teknologi modern di lingkungan instansi pemerintah. Kegiatan Pokok Ketatalaksanaan meliputi: menyempurnakan sistem dan prosedur kerja efektif,ramping, fleksibel berdasar prinsip kepemerintahan yg baik, menyempurnakan SAN u/ menjaga keutuhan NKRI dan mempercepat proses desentralisasi, menyempurnakan tatalaksana dan hub kerja antar lembaga di pusat dan antar pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, menciptakan sistem administrasi pendukung dan kearsipan yg efektif dan efisien.
Strategi Pendayagunaan Ketatalaksanaan; pemangkasan dan eliminasi mekanisme sistem kerja, prosedur dan mekanisme yg memberi peluang terjadinya praktek KKN, deregulasi dan debirokratisasi sistem administrasi pemerintahan, perumusan Standar, operating Procedures (SOP) adms pemerintahan, penyusunan hub kerja eksternal/tata hub kewenabgan antar lembaga, antar pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah , optimalisasi pemanfaatan teknologi infs (E-Gov) dlm rangka modernisasi adms dan manajemen pemerintahan, penataan pengelolaan arsip secara bik dan benar, otomatisasi adms perkantoran, proses pengadaan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, pengelolaan sarana dan prasarana kerja sesuai ketentuan yg berlaku, implementasi akuntabilitas, tranparansi dll serta merubah paradigma manajemen UP3 (Unit Pelaksana Pelayanan Pemerintah dr manajemen birokratik ke manajemen wirausaha. Kriteria Pemilihan Prioritas Program Pendayagunaan Ketatalaksanaan : prosedur panjang, berbelit dan bertele-tele, rawan/memberi peluang KKN dan percaloan, mengganggu/menghambat kelancaran produksi          dan arus barang/jasa pemerintah , mengganggu kelancaran penerimaan dan pengeluaran anggaran Negara, menghambat kelancaran proses kerja aparatur/mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, memboroskan sumber daya dan waktu.
Inti dari penjelasan diats yaitu penataan ketatalaksanaan merupakan Mekanisme, system dan prosedur sederhana atau ringkas, simple, mudah dan akurat melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi serta memiliki kantor, sarana dan prasarana kerja memadai. Keberhasilan Sistem Tatalaksana Memerlukan Koordinasi yang meliputi: waktu,  ruang, interinstitusional, fungsional, structural, perencanaan, masukan umpan balik.
2.1.3        Sumber Daya Aparatur
Sebagaiman diamantkan dalam UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2055, bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat dan di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya.
Manajemen Sumber Daya Aparatur (MSDA) adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan organisasi. Fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Aparatur terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian, pengadaan,pengembangan kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, kedisiplinan, dan pemberhentian. Tujuannya ialah agar organisasi dapat melakukan kebijakan dengan baik dan pegawai mendapatkan kepuasan dari pekerjaannya. (Drs. Melayu S.P. Hasibuan)
Sumber daya aparatur menurut Badudu dan Sutan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah terdiri dari kata sumber yaitu, tempat asal dari mana sesuatu datang, daya yaitu usaha untuk meningkatkan kemampuan, sedangkan aparatur yaitu pegawai yang bekerja di pemerintahan. Jadi, sumber daya aparatur adalah kemampuan yang dimilki oleh pegawai untuk melakukan sesuatu”. (Badudu dan Sutan, 1996:1372).
Soerwono Handayaningrat yang mengatakan bahwa Aparatur ialah aspek-aspek administrasi yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan atau negara, sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Aspek-aspek administrasi itu terutama ialah kelembagaan atau organisasi dan kepegawaian (Handayaningrat,1982:154).
Secara garis besar, persoalan pegawai negeri sipil dapat ditinjau dari tiga perspektif yaitu perspektif system (aturan hukum dan kebijakan), kelembagaan dan sumber daya manusia. Dari perspektif kelembagaan contohnya adalah PP No.24 tahun 1976 tentang cutu PNS, PP No 10 Tahun 1976 tentang penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS, pp No 15 Tahun 1979 tentang daftar urut kepangkatan PNS, PP No 32 Tahun 1979 tentang pemberhentian PNS, PP No 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin PNS, dan lain-lain. Upaya-upaya untuk memperbarui regulasi tersebut telah dimulai walaupun belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Dari perspektif kelembagaan, terdapat beberapa instansi yang menangani perumusan kebijakan PNS seperti Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Lembaga Administrasi Negara,Badan Kepegawaian Negara, dan Departemen Dalam Negeri. Deputi II Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PAN, contohnya, bertugas menyiapkan perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang sumber daya manusia aparatur dengan fungsi-fungsi:
a.       menyiapkan perumusan kebijakan di bidang sumber daya manusia aparatur;
b.      melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang sumber daya manusia aparatur;
c.       melakukan pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan di bidang sumber daya manusia aparatur; dan
d.      melaksanakan hubungan kerja di bidang sumber daya manusia dengan pemerintah dan masyarakat.
BKN selain menetapkan kebijakan dan regulasi PNS juga melaksanakan fungsi-fungsi operasional, seperti halnya Kementerian PAN. Di bidang pendidikan dan pelatihan, LAN berfungsi sebagai instansi pembina Diklat sedangkan BKN bertindak sebagai instansi pengendali diklat. Selain LAN dan BKN yang mengeluarkan kebijakan mengenai pendidkan dan pelatihan PNS, Departemen Dalam Negeri juga menetapkan sejumlah kebijakan berkenaan dengan pendidikan dan pelatihan untuk PNS di daerah.
Penataan Sumber Daya Aparatur (SDA)
Penataan Sumber Daya Aparatur (SDA) dilaksanakan dengan memperhatikan:
1.            Penerapan sistem merit dan manajemen kepegawaian
2.            Sistem teknologi diklat yang efektif
3.            Standart dan peningkatan kinerja
4.            Pola karier jelas dan terencana
5.            Standar kompetensi jabatan
6.            Klasifikasi jabatan
7.            Tugas, fungsi dan beban tugas proposional
8.            Rekrutmen sesuai prosedur
9.            Penempatan pegawai sesuai keahlian
10.        Renumerasi memadai
11.        Perbaikan sistem iformasi manajemen kepegawaian
Strategi Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Aparatur
1.      Strategi Pembinaan Diklat
a.       Diklat Berbasis Kompetensi
Maraknya jenis dan penyelenggara diklat mengakibatkan bervariasinya jenis-jenis diklat yang tersedia baik yang diselenggarakan oleh lembaga diklat pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga diklat swasta. Untuk menghindari fenomena asal ikut diklat , maka dalam penyelenggaraan diklat untuk PNS diberlakukan kebijakan diklat berbasis kompetensi. Artinya, diklat yang diperuntukkan bagi PNS bukan diklat yang sekedar membentuk kompetensi, tetapi kompetensi tersebut harus relevan dengan tugas dan jabatannya. Dengan kata lain, kompetensi itu secara langsung dapat membantu di dalam melaksanakan tugas dan jabatan.
Penerapan kebijakan ini memang berimplikasi langsung pada keharusan adanya standar kompetensi untuk setiap jabatan, baik jabatan struktural, fungsional tertentu, maupun fungsional umum. Karena setiap PNS adalah pelayan publik, maka sesuai dengan tugas pokoknya sudah barang tentu kompetensi merupakan keharusan pada setiap standar jabatan. Dalam prakteknya, tidak semua kompetensi tersebut diperoleh melalui diklat melainkan diperoleh melalui belajar mandiri, bimbingan di tempat kerja, dan sebagainya. Kompetensi yang diperoleh melalui diklatlah yang ditindaklanjuti dalam bentuk program diklat. Dengan demikian, kebijakan diklat berbasis kompetensi ini diharapkan dapat menjadi pendorong (trigerting) dalam memberikan pelayanan yang baik.
b.      Desentralisasi Penyelenggaraan Diklat
Disadari bahwa sentralisasi penyelenggaraan Diklat jelas tidak akan mempercepat proses peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur. Sentralisasi tersebut hanya mampu mengkompetenkan segelintir aparatur saja. Di samping itu, kompetensi yang terbentuk belum tentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengingat jauhnya jarak antara masyarakat di level bawah dengan birokrasi kediklatan di level pusat atau atas.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Diklat Jabatan mengamanahkan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan diklat. Penyelenggaraan Diklal mulai dari Diklat Prajabatan, Kepemimpinan (kecuali Diklatpim Tk. I), Diklat Fungsional dan Diklat Teknis tidak lagi dimonopoli dan dipusatkan di lembaga-lembaga diklat pemerintah pusat, melainkan didesentralisasikan di daerah. Bahkan, desentralisasi penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III dan IV misalnya, sebenarnya sudah lama dilakukan. Sebelum ini pun penyelenggaran Diklat Spama dan Adum sudah didesentralisasikan ke daerah. Dengan PP 101/ 2000, penekanan aspek desentralisasi itu semakin ditingkatkan dengan mendesentralisasikan pelaksanaan Diklatpim TK. II (dulu SPAMEN) ke Lembaga Diklat Pemerintah lainnya.
Di samping Diklat Kepemimpinan, nuansa desentralisasi juga mewarnai penyelenggaraan Diklat Prajabatan mulai dari Golongan I, II, dan III. Terakhir, tuntutan desentralisasi itu menyentuh pula penyelenggaraan Diklat Prajabatan Golongan III, khususnya pada proses budgetting system-nya atau Sistem Pengajuan Anggaran, dimana mulai pada Tahun 2005 ini, pengajuan anggaranpenyelenggaraan Diklat Prajabatan Golongan III sudah tidak disentralisasikan lagi di Instansi Pembina Diklat, melainkan sudah diajukan masing-masing instansi.
Untuk diklat fungsional dan diklat teknis, proses desentralisasinya malah lebih jauh dengan menggeser pembinaannya kepada Instansi Pembina Jabatan Fungsional dan Instansi Pembina Diklat Teknis, walaupun tetap dalam kerangka pembinaan nasional oleh Instansi Pembina Diklat. Bahkan untuk diklat teknis dan fungsional, penyelenggaraannya sudah tidak dimonopoli oleh lembaga diklatpemerintah saja. Lembaga diklat swasta pun dapat menjadi service provider di bidang ini. Dengan pergeseran ini, bermunculan benih-benih inovasi dan kreativitas dalam penyelenggaraan diklat. Bermunculan diklat-diklat yang substansinya sangat dekat dengan kebutuhan masyarakat, yang sebagian atau keseluruhannya mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pelayanan prima.
Kreativitas ini tidak hanya terjadi di lembaga-lembaga diklat instansi pemerintah pusat, di daerah pun energi desentralistis itu juga bekerja, mendorong badanbadan diklat provinsi untuk merancang sebuah diklat teknis yang bertumpu pada kondisi faktual daerah. Sebagai contoh, Badan Diklat Provinsi Maluku telah mendesain sebuah diklat teknis yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang spesifik.
c.       Kontrol Bersama (Collective Control) Terhadap Kompetensi
Ketika pelayanan publik menjadi concern atau perhatian semua pihak, maka mekanisme penyediaan pelayanan tidak boleh dimonopoli oleh satu pihak saja, apalagi kalau pihak yang satu-satunya itu menerapkan pendekatan sentralistikotoriter. Idealnya, mekanisme itu mutlak dikelola dan dikontrol oleh lebih dari satu pihak, terutama oleh pihak-pihak yang terkait secara langsung. Dengan kontrol bersama (collective control) ini, maka otomatis terbangun suatu sistem yang built-in menggerakkan proses ke arah penyempurnaan yang terus menerus mengakomodasi kepentingan semua pihak.
Prinsip yang sama juga berlaku pada mekanisme pembentukan kompetensi sumber daya manusia aparatur. Agar kompetensi yang akan dibentuk dapat menampung semua kepentingan, maka keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan mutlak dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam pembentukan kompetensi PNS, pihak-pihak yang memiliki kewenangan adalah sebagai berikut:
1)      Instansi Pembina Diklat.
LAN sebagai instansi pembina DikIaL bertanggungjawab atas pembinaan Diklat secara keseluruhan. Pembinaan Diklat tersebut dilakukan melalui penyusunan kurikulum Diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan Diklat, standarisasi dan akreditasi Diklat, pengembangan sistem informasi Diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan Diklat, pemberian bantuan teknis melalui konsultasi, bimbingan di tempat kerja, kerjasama dalam pengembangan, penyelenggaraan dan evaluasi Diklat.
2)      Instansi Pengendali Diklat
Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai instansi pengendali Diklat bertugas melakukan pengembangan dan penetapan standar kompetensi jabatan, termasuk standar kornpetensi jabatan di bidang pelayanan publik. Di samping itu, BKN juga mengendalikan pemanfaatan lulusan Diklat.
3)      Pejabat Pembina Kepegawaian
Pejabat Pembina Kepegawaian bertugas melakukan pemantauan dan penilaian secara periodik tentang kesesuaian antara penempatan lulusan dengan jenis Diklat yang telah diikuti serta melaporkan hasilnya kepada instansi pengendali.
4)      Instansi Penyelenggara
Instansi yang membawahi Lembaga Diklat terakreditasi yang secara langsung menyelenggarakan Diklat dengan berkoordinasi dengan Instansi Pembina.
5)      Baperjakat dan Tim Seieksi Peserta Diklat Instansi (TSPDI)
Bertugas memberikan pertimbangan kepada pejabat pembina kepegawaian dalam penentuan calon peserta Diklat. Jika kedua unsur ini bekerja dengan baik, maka peserta yang mengikuti diklat adalah mereka yang belurn kompeten untuk bidang teitentu, termasuk bidang pelayanan publik. Selesai mengikuti diklat, kompetensi tersebut akan diperolehnya untuk kemudian dipergunakannya secara langsung di tempat kerjanya.

d.      Penerapan Total QualityManagement,
Pasal 26 PP 101/2000 menggariskan paling tidak 8 (delapan) strategi pembinaan yang harus dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara sebagai Pembina Diklat antara lain melalui penyusunan pedoman diklat, bimbingan dalam pengembangan program diklat, bimbingan dalam penyelenggaraan diklat, standarisasi dan akreditasi, pengembangan sistem informasi diklat, pengawasan terhadap program dan penyelenggaraan diklat & widyaiswara, dan pemberian bantuan teknis melalui konsultansi, bimbingan di tempat kerja, kerjasama pengembangan dan evaluasi diklat. Jika kedelapan strategi ini diterapkan, maka kualitas penyelenggaraan diklat dapat terjamin.
Jika dikristalisasi, kedelapan strategi tersebut mencerminkan penerapan prinsip-prinsip Total Quality Management yang berisi tiga komponen utama, yakni penetapan standar kualitas (quality standard), pelaksanaan jaminan qualitas (quality assurance), dan pelaksanaan control kualitas (quality control).
1)      Standar kualitas
Sebagai Instansi Pembina Diklat, LAN telah menetapkan standar-standar kualitas melalui penyusunan pedoman-pedoman diklat yang menjadi acuan bagi lembagalembaga diklat dalam penyelenggaraan diklat.
2)      Jaminan kualitas
Untuk menjamin agar standar-standar kualitas diterapkan secara konsisten, LAN mengkompetensikan lembaga-lembaga penyelenggara diklat melalui kegiatan akreditasi dan sertifikasi lembaga diklat untuk menyelenggarakan diklat tertentu Di samping kegiatan tersebut, secara rutin LAN melaksanakan pembimbingan dan konsultansi kediklatan dalam berbagai bentuk mulai dari membimbing para penyelenggara diklat untuk aspek-apsek kediklatan yang bersifat prinsip seperti pengembangan kurikulum diklat, menyusun sequence mata diklat dalam suatu program diklat sampai pada kegiatan lainnya yang bersifat sangat teknis seperti tata cara penulisan STTPL. Pembimbingan dan konsultansi kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan baik secara langsung melalui kunjungan ke tempat kerja mereka atau sebaliknya maupun secara tidak langsung melalui komunikasi surat, telepon, dan internet.
Kegiatan lainnya adalah pengembangan modul, bahan ajar atau materi, serta LAN juga akan menerbitkan Buku Panduan Fasilitator yang akan membantu para Fasilitator Diklat dalam melakukan pengajaran sehingga kualitas pengajaran pendidikan dan pelatihan baik di dalam maupun di luar kelas dapat lebih standar, sehingga kesenjangan kualitas dapat lebih dikurangi.
Untuk mendukung seluruh kegiatan pembinaan diklat dalam memperoleh jaminan kualitas diklat, LAN sedang mengembangkan Sistem Informasi Diklat Aparatur (SIDA) yang dapat diakses oleh siapa saja, khususnya stakeholders, melalui situs internet dengan alamat html:www.sida.lan.go.idlj. Data dan informasi yang terdapat dalam SIDA tersebut dapat membantu manajemen penyelenggaraan diklat PNS dalam pengambilan keputusan, sehingga peningkatan kualitas penyelenggaraan dapat lebih terfasilitasi.
3)      Kontrol kualitas
Dalam melaksanakan pengawasan kualitas diklat PNS, maka berdasarkan pedoman penyelenggaraan masing-masing diklat, sudah merupakan kewajiban setiap lembaga diklat yang menyelenggarakan diklat untuk melaporkan rencana penyelenggaraan diklat sebelum dan sesudah diklat dilaksanakan kepada instansi pembina. Di samping itu, secara rutin LAN juga melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan diklat PNS, baik bagi lembaga diklat sudah terakreditasi maupun bagi lembaga diklat yang masih bermitra dengan LAN sebagai instansi pembina.
2.      Strategi Penyelenggaraan Diklat
Setiap lembaga penyelenggara Diklat harus memiliki kompetensi diklat dalam arti berkemampuan menempa sumber daya manusia aparatur (PNS) untuk memiliki kompetensi jabatan F'NS tertentu termasuk di bidang pelayanan publik. Melalui strategi-strategi pembinaan yang diuraikan di atas terutama melalui strategi quality assurance atau jaminan kualitas, setiap lembaga Diklat memiliki kompetensi lembaga Diklat yang diwujudkan melalui penerapan sistem penyelenggaraan diklat yang memperhatikan kualitas tiga unsur utama yakni masukan, proses, dan keluaran diklat yang diuraikan berikut ini :
a.       Masukan Diklat
Masukan diklat adalah peserta diklat yang karena jabatannya (struktural, fungsional dan fungsional umum) dipersyaratkan mengikuti diklat untuk memenuhi standar kompetensi jabatannya; ditugaskan oleh pejabat yang berwenang setelah lebih dahulu mendapat pertimbangan Baperjakat. Untuk Seleksi peserta diklat kepemimpinan, LAN telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala LAN Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tim Seleksi Peserta Diklat Instansi Untuk Diklat Kepemimpinan, yang tujuannya mengatur keikutsertaan peserta dalam Diklatpim agar yang terjaring sudah sesuai dengan kebutuhan instansi. Untuk keikutsertaan peserta dalam diklat lainnya, tanggung jawab berada pada Pembina Kepegawaian atau Baperjakat instansi masing-masing.
Peserta diklat sebagai masukan diklat memainkan peranan yang menentukan dalam peningkatan mutu pelaksanaan diklat. Pengaturan tentang keikutsertaan peserta ini dimaksudkan untuk menghindari kesan bahwa peserta yang diikutkan dalam suatu diklat adalah mereka yang "dibuang" sementara dari instansinya atau yang belum memiliki pekerjaan yang "permanen". Dalam operasionalnya, seleksi peserta dapat dilakukan dengan cara pemberian tes yang terkait dengan kompetensi jabatan yang harus dimiliki, atau melalui suatu proses analisa kebutuhan diklat. Kedua cara ini akan membagi peserta ke dalam dua bagian, yakni perlu mengikuti diklat dan tidak perlu mengikuti diklat. Kelompok pertama inilah yang perlu mengikuti diklat.
b.      Proses Diklat
Masukan diklat yang tepat, tidak akan berarti banyak apabila unsur-unsur yang memprosesnya kurang maksimal. Oleh karena itu, setiap penyelengara diklat perlu memperhatikan kualitas unsur-unsur yang memproses masukan diklat tersebut. Unsur-unsur yang memproses masukan diklat itu meliputi empat bagian besar, yakni: kelembagaan diklat, program diklat, SDM penyelenggara diklat, dan widyaiswara.
Untuk memastikan bahwa keempat unsur tersebut berada pada kondisi maksimal dalam memproses masukan diklat, maka diperlukan akreditasi dan sertifikasi. Terkait dengan pelaksanaan akreditasi itu, Lembaga Administrasi Negara sebagai instansi pembina diklat telah menerbitkan Pedoman Akreditasi dan Sertifikasi Lembaga Diklat sebagaimana yang diatur dalam keputusan kepala LAN Nomor 194/XIII/ 10/6/2001.
c.       Keluaran Diklat
Setelah melalui Seleksi Calon Peserta Diklat di instansi masing-masing sesuai yang dipersyaratkan, kemudian mengikuti proses diklat pada lembaga diklat yang keempat unsur-unsurnya telah terakreditasi, pada akhirnya akan dihasilkan keluaran diklat yang memiliki kompetensi sesuai persyaratan jabatannya.
Setelah selesainya penyelenggaraan suatu diklat, proses diklat sebenarnya belum berakhir. Lembaga diklat masih harus memantau kinerja lulusannya dalam bentuk evaluasi pasca diklat yang tujuannya untuk mengetahui sejauh mana efektifitas kompetensi yang telah dimiliki oleh peserta tadi, dapat dimanfaatkan dalam tempat kerjanya. Jika terbukli bahwa yang bersangkutan sudah kompeten melakukan tugastugasnya, maka barulah diklat dapat dikatakan berhasil. Tetapi jika ternyata tugastugas belum dapat dilaksanakan dengan baik yang disebabkan karena kekurang kompetensiannya, maka PNS yang bersangkutan perlu di-retraining atau dilatih ulang.
Rekruitmen Pegawai
Menurut McKenna (2008) perekrutan dan seleksi adalah perencanaan yang digunakan perusahaan dalam berhubungan dengan penyediaan tenaga kelompok kandidat untuk mengisi posisi yang lowong, dan seleksi adalah teknik pemilihan anggota baru organisasi dari kandidat yang tersedia.
Tujuan proses perekrutan adalah untuk menghasilkan daftar kandidat yang latar belakang dan kemampuannya sesuai dengan profil yang terdapat pada spesifikasi pekerjaan (Mondy & Noe, 2005). Maka jika terdapat sejumlah besar pelamar, proses akan memakan banyak waktu.
Proses perekrutan pada umumnya melibatkan faktor lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi perencanaan pencarian tenaga kerja yang pada akhirnya akan menemukan beberapa alternatif perekrutan yang menjadi pertimbangan. Setelah adanya beberapa alternatif, maka akan berlanjut pada keputusan melakukan perekrutan. Dimana perekrutan ini akan berlanjut pada proses pencarian sumber yang tepat, yaitu eksternal atau internal. Ketika perusahaan menggunakan sumber eksternal, tentulah perusahaan tersebut harus menggunakan eksternal methods yaitu membuat calon-calon tenaga kerja yang potensial agar tertarik pada perusahaan. Sedangkan ketika perusahaan menggunakan sumber internal, maka perusahaan harus menggunakan internal methods yaitu membuat para karyawan di dalam perusahaan termotivasi untuk mengisi jabatan yang sedang dibutuhkan. Pada akhirnya, proses perekrutan ini mencapai pada pemilihan tenaga kerja secara individual.
Penilaian Kinerja dan Instrumen Pengukuran Kinerja
Penilaian Kinerja adalah salah satu tahapan penting dalam siklus pengembangan sumber daya manusia, baik di sektor publik maupun di sektor swasta.
Sistem penilaian kinerja berdasarkan:
1.      Keadilan
2.      Transparan
3.      Independensi
4.      Pemberdayaaan
5.      Non diskriminasi
6.      Semangat berkompetisi
Instrumen Pengukuran Kinerja adalah alat yang dipakai untuk mengukur kinerja individu seorang pegawai yang meliputi prestasi kerja, keahlian, perilaku, dan kepemimpinan.
2.1.4        Akuntabilitas
Pengertian akuntabilitas
      Akuntabilitas adalah kemampuan memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan seseorang/sekelompok orang terhadap masyarakat luas dalam suatu organisasi (Syahrudin Rasul, 2002:8).
      Sedangkan menurut UNDP, akuntabilitas adalah evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang akan datang.
      Akuntabilitas merupakan konsep yang komplek yang lebih sulit mewujudkannya dari pada memberantas korupsi. Akuntabilitas adalah keharusan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekan pada pertanggungjawaban horizontal (masyarakat) bukan hanya pertanggungjawaban vertikal (otoritas yang lebih tinggi). (Turner and Hulme, 1997).
      Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari seseorang atau sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tertentu kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Tingkatan Akuntabilitas
Tingkatan akuntabilitas menurut majalah Akuntansi:
1.      Akuntabilitas Personal. Akuntabilitas berkaitan dengan diri sendiri.
2.      Akuntabilitas Individu. Akuntabilitas yang berkaitan dengan suatu pelaksanaan.
3.      Akuntabilitas Tim. Akuntabilitas yang dibagi dalam kerja kelompok atau tim.
4.      Akuntabilitas Organisasi. Akuntabilitas Internal dan Eksternal didalam organisasi.
5.      Akuntabilitas Stakeholders. Akuntabilitas yang terpisah antara stakeholders dan organisasi.
Dimensi akuntabilitas
Dimensi akuntabilitas ada 5, yaitu (Syahrudin Rasul, 2002:11):
1.      Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accuntability for probity and legality
Akuntabilitas hukum terkait dengan dilakukannya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan, korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menjamin ditegakkannya supremasi hukum, sedangkan akuntabilitas kejujuran menjamin adanya praktik organisasi yang sehat.
2.      Akuntabilitas manajerial 
Akuntabilitas manajerial yang dapat juga diartikan sebagai akuntabilitas kinerja (performance accountability) adalah pertanggungjawaban untuk melakukan pengelolaan organisasi secara efektif dan efisien.
3.      Akuntabilitas program 
Akuntabilitas program juga berarti bahwa programprogram organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu dan mendukung strategi dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Lembaga publik harus mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan program.
4.      Akuntabilitas kebijakan 
Lembaga-lembaga publik hendaknya dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak dimasa depan. Dalam membuat kebijakan harus dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu dilakukan.
5.      Akuntabilitas financial        
Akuntabilitas ini merupakan pertanggungjawaban lembagalembaga publik untuk menggunakan dana publik (public money) secara ekonomis, efisien dan efektif, tidak ada pemborosan dan kebocoran dana, serta korupsi. Akuntabilitas financial ini sangat penting karena menjadi sorotan utama masyarakat. Akuntabilitas ini mengharuskan lembaga-lembaga publikuntuk membuat laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja financial organisasi kepada pihak luar.
Aspek-Aspek Akuntabilitas
a.      Akuntabitas adalah sebuah hubungan 
Akuntabilitas adalah komunikasi dua arah sebagaimana yang diterangkan oleh Auditor General Of British Columbia yaitu merupakan sebuah kontrak antara dua pihak
b.      Akuntabilitas Berorientasi Hasil 
Pada stuktur organisasi sektor swasta dan publik saat ini akuntabilitas tidak melihat kepada input ataupun autput melainkan kepada outcome.
c.       Akuntabilitas memerlukan pelaporan 
Pelaporan adalah tulang punggung dari akuntabilitas
d.      Akuntabilitas itu tidak ada artinya tanpa konsekuensi 
Kata kunci yang digunakan dalam mendiskusikan dan mendefinisikan akuntabilitas adalah tanggung jawab. Tanggung jawab itu mengindikasikan kewajiban dan kewajiban datang bersama konsekuensi.
e.       Akuntabilitas meningkatkan kinerja
Tujuan dari akuntabilitas adalah untuk meningkatkan kinerja, bukan untuk mencari kesalahan dan memberikan hukuman.
Alat-alat Akuntabilitas
1. Rencana Strategis
Rencana strategis adalah suatu proses yang membantu organisasi untuk memikirkan tentang sasaran yang harus diterapkan untuk memenuhi misi mereka dan arah apa yang harus dikerjakan untuk mencapai sasaran tersebut. Hal tersebut adalah dasar dari semua perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kegiatan suatu organisasi. Manfaat dari Rencana Stratejik antara lain membantu kesepakatan sekitar tujuan, sasaran dan prioritas suatu organisasi; menyediakan dasar alokasi sumber daya dan perencanaan operasional; menentukan ukuran untuk mengawasi hasil; dan membantu untuk mengevaluasi kinerja organisasi.
2. Rencana Kinerja
Rencana kinerja menekankan komitmen organisasi untuk mencapai hasil tertentu sesuai dengan tujuan, sasaran, dan strategi dari rencana strategis organisasi untuk permintaan sumber daya yang dianggarkan.
3. Kesepakatan Kinerja
Kesepakatan kinerja didesain, dalam hubungannya antara dengan yang melaksanakan pekerjaan untuk menyediakan sebuah proses untuk mengukur kinerja dan bersamaan dengan itu membangun akuntabilitas.
4. Laporan Akuntabilitas
Dipublikasikan tahunan, laporan akuntabilitas termasuk program dan informasi keuangan, seperti laporan keuangan yang telah diaudit dan indikator kinerja yang merefleksikan kinerja dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan utama organisasi.
5. Penilaian Sendiri
Adalah proses berjalan dimana organisasi memonitor kinerjanya dan mengevaluasi kemampuannya mencapai tujuan kinerja, ukuran capaian kinerjanya dan tahapan-tahapan, serta mengendalikan dan meningkatkan proses itu.
7. Penilaian Kinerja
Adalah proses berjalan untuk merencanakan dan memonitor kinerja. Penilaian ini membandingkan kinerja aktual selama periode review tertentu dengan kinerja yang direncanakan. Dari hasil perbandingan tersebut, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, perubahan atas kinerja yang diterapkan dan arah masa depan bisa direncanakan.
8. Kendali Manajemen 
Akuntabilitas manajemen adalah harapan bahwa para manajer akan bertanggungjawab atas kualitas dan ketepatan waktu kinerja, meningkatkan produktivitas, mengendalikan biaya dan menekan berbagai aspek negatif kegiatan, dan menjamin bahwa program diatur dengan integritas dan sesuai peraturan yang berlaku.
2.1.5        Kualitas Pelayanan
Pengertian Kualitas
      Pengertian atau makna atas konsep kualitas telah diberikan oleh banyak pakar dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga menghasilkan definisi-definisi yang berbeda pula. Goesth dan Davis yang dikutip Tjiptono, mengemukakan bahwa kualitas diartikan “sebagai suatu kondisi dinamis dimana yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.”(Tjiptono, 2004:51). Kemudian Triguno juga mengungkapkan hal yang senada tentang kualitas, yang dimaksud dengan kualitas adalah, “Suatu standar yang harus dicapai oleh seseorang atau kelompok atau lembaga atau organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa.” (Triguno, 1997:76). Pengertian kualitas tersebut menunjukan bahwa kualitas itu berkaitan erat dengan pencapaian standar yang diharapkan.
Berbeda dengan Lukman yang mengartikan kualitas adalah “sebagai janji pelayanan agar yang dilayani itu merasa diuntungkan.”(Lukman, 2000:11). Kemudian Ibrahim melihat bahwa kualitas itu “sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan eksternal, secara eksplisit maupun implisit.” (Ibrahim, 1997:1).
Pengertian yang lebih rinci tentang kualitas diberikan oleh Tjiptono, setelah melakukan evaluasi dari definisi kualitas beberapa pakar, kemudian Tjiptono menarik 7 (tujuh) definisi yang sering dikemukakan terhadap konsep kualitas, definisi-definisi kualitas menurut Tjiptono tersebut, adalah sebagai berikut:
1.                  Kesesuaian dengan persyaratan atau tuntutan;
2.                  Kecocokan untuk pemakaian;
3.                  Perbaikan atau penyempurnaan berkelanjutan:
4.                  Bebas dari kerusakan atau cacat;
5.                  Pemenuhuan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat;
6.                  Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal; dan
7.                  Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan. (Tjiptono,1997:2).
Dari pengertian tersebut tampak bahwa, disamping kualitas itu menunjuk pada pengertian pemenuhan standar atau persyaratan tertentu, kualitas juga mempunyai pengertian sebagai upaya untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan secara terus menerus dalam pemenuhan kebutuhan pelanggan sehingga dapat memuaskan pelanggan.
Pengertian Pelayanan
Pelayanan publik/umum merupakan salah satu fungsi utama dari pemerintah. Pemerintah berkedudukan sebagai lembaga yang wajib memberikan atau memenuhi kebutuhan masyarakat. Pelayanan merupakan terjemahan dari istillah service dalam bahasa Inggris yang menurut Kotler yang dikutip Tjiptono, yaitu berarti “setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak ke pihak yang lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu”.(Tjiptono,2004:6). Kemudian Sutopo dan Sugiyanti mengemukakan bahwa pelayanan mempunyai pengertian sebagai “membantu menyiapkan (atau mengurus) apa yang diperlukan seseorang”.(Sutopo dan Sugiyanti, 1998:25).
Sebagai suatu produk, pelayanan (service) mempunyai sifat yang khas, yang menyebabkan berbeda dengan produk yang lain. Menurut Martiani pelayanan mempunyai lima sifat dasar sebagai berikut:
1.                  Tidak berwujud (intangible)
2.                  Tidak dapat dipisah-pisahkan (inseperability)
3.                  Berubah-ubah / beragam (variability)
4.                  Tidak tahan lama (perishability)
5.                  Tidak ada kepemilikan (unowwership).
(Martiani, 1995:1). Dalam kaitannya dengan pelayanan umum Sedarmayanti mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan umum adalah “melayani suatu jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam segala bidang”.(Sedarmayanti, 1999:195). Hal senada juga diungkapkan oleh Saefullah, yang menyatakan bahwa “pelayanan umum (public service) adalah pelayanan yang diberikan pada masyarakat umum yang menjadi warga negara atau yang secara sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan.”(Saefullah, 1999:5).
Kemudian pelayanan publik menurut Pamudji adalah “berbagai kegiatan pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang barang dan jasa.”(Pamudji, 1994:21). Adapun yang dimaksud pelayanan publik menurut Ndraha, yaitu “Proses produksi barang dan jasa yang ditujukan kepada publik.”(Ndraha, 2000:58). Lebih jelas lagi yang dimaksud dengan pelayanan umum, telah disebutkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, adalah sebagai berikut: “Segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan .”(Kepmenpan No.81 tahun 1993: Pendahuluan).
Beberapa pengertian pelayanan umum diatas mengemukakan bahwa pelayanan umum atau pelayanan publik merupakan berbagai kegiatan yang harus dilakukan oleh pemerintah baik di Pusat, di Daerah, dan BUMN/BUMD untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi tuntutan dari masyarakat. Kebutuhan tersebut meliputi produk pemerintah yang berupa barang dan jasa yang tergolong sebagai jasa publik dan layanan sipil. Pelayanan umum dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau sehingga pelayanan umum harus mengandung unsur-unsur seperti yang telah disebutkan dalam Kepmenpan No.81 tahun 1993, yaitu sebagai berikut:
1.      Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum harus jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak. 
2.      Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang pada efisiensi dan efektivitas.
3.      Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diusahakan agar dapat memberikan kenyamanan, keamanan, kelancaran, dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
4.      Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Kepmenpan No.81 tahun1993 )
Mengenai hak dan kewajiban pemberi maupun penerima pelayanan umum telah dijelaskan dalam pasal 4-7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pemerintah sebagai pemberi pelayanan umum harus memperhatikan hak-hak masyarakat sebagai pengguna layanan, yaitu sebagai berikut:
1.      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.      Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5.      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.      Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7.      Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
(Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999) Hak dan kewajiban masyarakat dalam menerima pelayanan merupakan hak yang mutlak didapatkan oleh setiap masyarakat. Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 dijelaskan bahwa setiap masyarakat berhak mendapatkan perhatian atas pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh pemerintah tanpa terkecuali. Menurut Nisjar ada beberapa ciri-ciri atau kriteria dari pelayanan umum, sebagaimana yang dikutip oleh Sedarmayanti, yaitu sebagai berikut:
1.      Prosedur pelayanan harus mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan, sehingga terhindar dari prosedur birokratik yang sangat berlebihan, berbelit-belit.
2.      Pelayanan diberikan secara jelas dan pasti, sehingga ada suatu kejelasan dan kepastian bagi pelanggannya dalam menerima pelayanan tersebut.
3.      Pemberian pelayanan senantiasa diusahakan agar pelayanan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
4.      Pelayanan harus senantiasa memperhatikan kecepatan dan ketepatan waktu yang sudah ditentukan.
5.      Pelanggan setiap saat dapat dengan mudah memperoleh berbagai informasi yang berkaitan dengan pelayanan secara terbuka.
6.      Dalam berbagai kegiatan pelayanan, baik teknis maupun admnistrasi pelanggan selalu diperlakukan dengan motto: costumer is king and costumer is always right.
(Sedarmayanti, 1999:195). Pelayanan kepada masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga penyelenggaraannya harus terus ditingkatkan sesuai dengan sasaran pembangunan. Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 telah ditetapkan 8 (delapan) sendi pelayanan yang harus dapat dilaksanakan oleh instansi atau satuan kerja dalam suatu departemen yang berfungsi sebagai unit pelayanan umum. Kedelapan sendi yang dimaksud dijelaskan lebih lanjut oleh Sedarmayanti, sebagai berikut:
1.      Kesederhanaan, berarti bahwa tata cara / prosedur pelayanan umum dapat diterapkan secara lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilakukan. Ada informasi pelayanan yang dapat berupa loket informasi, layanan pengaduan disertai petunjuk pelayanan.
2.      Kejelasan dan kepastian, artinya tertera dengan jelas waktu pelayanan, berapa dan bagaimana syarat pelayanan, dicantumkan jam kerja kantor untuk pelayanan masyarakat, jadwal dan pelaksanaan pelayanan, pengaturan tarif, dan terdapat pengaturan tugas dan penunjukan petugas sesuai dengan keahlian yang dimiliki pegawai.
3.      Keamanan, berarti hasil produk pelayanan memenuhi kualitas teknis (aman) dan dilengkapi dengan jaminan purna pelayanan secara administratif (pencatatan dokumentasi, tagihan), dilengkapi dengan sarana dan prasarana pelayanan (peralatan) yang dimanfaatkan secara optimal. Penataan ruang dan lingkungan kantor yang diupayakan rapi, bersih, dan memberikan rasa aman.
4.      Keterbukaan, berarti adanya upaya publikasi atau penyebaran informasi yang dilakukan melalui media atau bentuk penyuluhan tentang adanya pelayanan yang dimaksud.
5.      Efisiensi, berarti bahwa persyaratan pelayanan ditujukan langsung dengan pencapaian sasaran.
6.      Ekonomis, berarti adanya kewajaran dalam penetapan biaya, harus disesuaikan dengan nilai barang atau jasa pelayanan.
7.      Keadilan yang merata, berarti pelayanan harus diupayakan untuk dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat melalui distribusi yang adil dan merata, juga tidak memperbolehkan adanya diskriminasi.
8.      Ketepatan waktu, artinya organisasi harus dapat melayani dengan cepat dan tepat sesuai dengan aturan yang berlaku, petugas harus tanggap dan peduli dalam memberikan pelayanan, termasuk disiplin dan kemampuan melaksanakan tugas. Dari segi etika, keramahan dan sopan santun juga perlu diperhatikan.
9.      (Sedarmayanti, 1999:200-201).
Jenis-Jenis Pelayanan
Membicarakan tentang pelayanan tidak bisa dilepaskan dengan manusia, karena pelayanan mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan hidup manusia, baik itu sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Keanekaragaman dan perbedaan kebutuhan hidup manusia menyebabkan adanya bermacam-macam jenis pelayanan pula, dalam upaya untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia tersebut. Dilihat dari bidang kegiatan ekonomi, Fitzsmmons yang dikutip oleh Saefullah, membedakan lima jenis pelayanan umum, yaitu sebagai berikut:
1.      Business service, menyangkut pelayanan dalam kegiatan-kegiatan konsultasi, keuangan dan perbankan;
2.      Trade service, kegiatan-kegiatan pelayanan dalam penjualan, perlengkapan, dan perbaikan;
3.      Infrastructur service, meliputi kegiatan-kegiatan pelayanan dalam komunikasi dan transportasi;
4.      Social and personal service, pelayanan yang diberikan antara lain dalam kegiatan rumah makan dan pemeliharaan kesehatan; dan
5.      Public administration, yang dimaksudkan disini adalah pelayanan dari pemerintah yang membantu kestabilan dan pertumbuhan ekonomi. (Saefullah, 1999:7-8).
Kemudian menurut Ndraha, pelayanan publik terdiri dari layanan publik, jasa publik maupun layanan civil. Lebih lanjut ia menjelaskan perbedaan antara layanan publik dengan layanan civil, sebagai berikut: “Layanan civil (civil service) berbeda dengan layanan publik (public service). Layanan civil tidak dijual beli, dimonopoli oleh badan-badan publik (pemerintah, negara), dan tidak boleh diprivatisasikan (diswastakan), sedangkan layanan publik dijual beli, di bawah kontrol legislatif”. (Ndraha, 2000:56).
Setelah mempelajari berbagai pembagian jenis-jenis pelayanan umum (Public service), Saefullah menyimpulkan bahwa pada dasarnya secara garis besar pelayanan umum yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar, yaitu sebagai berikut: “Pertama, pelayanan umum yang diberikan tanpa memperhatikan orang perseorang, tetapi keperluan masyarakat secara umum. Dalam pelayanan ini meliputi penyediaan sarana dan prasarana transportasi, penyediaan pusat-pusat kesehatan, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, pemeliharaan keamanan, dan lain sebagainya. Kedua, pelayanan yang diberikan secara orang perseorangan, pelayanan ini meliputi kemudahan-kemudahan dalam memperoleh pemeriksaan kesehatan, memasuki lembaga pendidikan, memperoleh kartu penduduk, pembelian karcis perjalanan dan sebagainya”. (Saefullah, 1999:8)
Dari bebagai pendapat tentang pembagian jenis-jenis pelayanan umum yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat terlihat bahwa pelayanan umum mencakup lingkup kegiatan dan jenis-jenis yang sangat luas. Dengan kata lain, persoalan pelayanan umum dalam satu pemerintahan merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan karena itu membutuhkan perhatian semua kalangan, baik dari pemerintah sebagai pihak pemberi layanan maupun dari masyarakat sebagai pihak yang menerima pelayanan.
Pengertian Kualitas Pelayanan
Sebagai salah satu fungsi utama pemerintah maka pelayanan tersebut sudah seharusnya dapat diselenggarakan secara berkualitas oleh pemerintah. Kualitas pelayanan umum menurut Wyckof yang dikutip Tjiptono, yaitu sebagai berikut: “Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Apabila jasa atau pelayanan yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa atau pelayanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa atau pelayanan yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa atau pelayanan dipersepsikan buruk”.(Tjiptono, 2004:59).
Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan diatas oleh tiptono maka dapat diindikasikan bahwa sebuah kualitas pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat sebagai penerima layanan mengharapkan tingkat keunggulan dari setiap jasa pelayanan yang didapat dari pelayanan yang didapatkan sebelumnya. Bila pelayanan yang diberikan melampaui harapan dari masyarakat pelanggan maka kualitas pelayanan yang diberikan akan mendapatkan persepsi yang ideal dari para penerima pelayanan. Lebih jelas lagi Gasperz yang dikutip Lukman, mengungkapkan sejumlah pengertian pokok dari kualitas pelayanan, yaitu sebagai berikut : “Pada dasarnya kualitas pelayanan mengacu pada pengertian pokok:
1.      kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasaan atas penggunaan produk itu.
2.      kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari segala kekurangan atau kerusakan”. (Lukman,2000:7).
Pengertian pokok kualitas pelayanan seperti yang dijelaskan diatas menunjukan bahwa. Kualitas pelayanan adalah kualitas yang terdiri dari keistimewaan dari berbagai pelayanan yang bertujuan untuk memenuhi kepuasan atas pelayanan yang didapat tersebut. Pendapat diatas ditegaskan oleh Boediono, bahwa pada hakekatnya pelayanan umum yang berkualitas itu adalah:
1.      Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah dibidang pelayanan umum.
2.      Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselengarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
3.      Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam membangun serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. (Boediono, 1999:63).
Hakekat pelayanan umum berkualitas yang diartikan oleh budiono adalah berdasarkan pada hakekat yang memprioritaskan peningkatan mutu pelayanan dan kemampuan dari penyedia pelayanan kepada penerima layanan agar pelayanan yang diberikan lebih berdaya dan berhasil guna. Kemudian Sedarmayanti, menyebutkan bahwa pada dasarnya kualitas pelayanan umum itu meliputi, sebagai berikut:
1.      Aspek kemampuan sumber daya manusia yang terdiri dari keterampilan, pengetahuan, dan sikap diupayakan untuk ditingkatkan, maka hal tersebut akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya, dan apabila pelaksanaan tugas dilakukan secara lebih profesional, maka akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.
2.      Apabila sarana dan prasarana dikelola secara tepat, cepat dan lengkap, sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan masyarakat, maka hal tersebut akan menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih baik.
3.      Prosedur yang dilaksanakan harus memperhatikan dan menerapkan ketepatan prosedur, kecepatan prosedur, serta kemudahan prosedur, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang lebik baik dari sebelumnya.
4.       Bentuk jasa yang diberikan kepada masyarakat dapat berupa kemudahan dalam memperoleh informasi, ketepatan, kecepatan pelayanan, sehingga kualitas pelayanan yang lebih baik akan dapat diwujudkan. (Sedarmayanti, 1999:207-208).
Pelayanan umum baru dapat dikatakan berkualitas jika sesuai dengan harapan/keinginan atau kebutuhan penerima layanan, untuk dapat mengetahui apakah pelayanan umum yang diberikan pemerintah sesuai dengan keinginan atau kebutuhan masyarakat sebagai pengguna layanan, maka kualitas pelayanan umum harus diukur dan dinilai oleh masyarakat pengguna layanan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lukman dan Sugiyanto, yang menyatakan bahwa: “Kualitas pelayanan berhasil dibangun, apabila pelayanan yang diberikan kepada pelanggan mendapatkan pengakuan dari pihak-pihak yang dilayani. Pengakuan terhadap keprimaan sebuah pelayanan, bukan datang dari aparatur yang memberikan pelayanan, melainkan datang dari pengguna jasa layanan.”(Lukman, 2001:12).
Hal senada pun diungkapkan oleh Tjiptono, yang menyebutkan bahwa: “Citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi pelanggan. Pelangganlah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas pelayanan umum. Persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa atau pelayanan merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu pelayanan.”(Tjiptono, 2004:61).
Sinambela (2010, hal : 6), secara teoritis tujuan pelayanan publik padadasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :
1.      Transparan. Pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2.      Akuntabilitas. Pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3.      Kondisional. Pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4.      Partisipatif. Pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5.      Kesamaan Hak. Pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.
6.      Keseimbangan Hak Dan Kewajiban Pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
Dimensi Kualitas Pelayanan
Pada dasarnya, kualitas pelayanan berfokus kepada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaianya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan menurut Lupiyoadi (2001, hal : 147) adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Salah satu pendekatan kualitas pelayanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah model SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam serangkaian penelitian mereka yang melibatkan 800 pelanggan terhadap enam sektor jasa : reparasi, peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi, sambungan telepon jarak jauh, perbankan ritel, dan pialang sekuritas disimpulkan bahwa terdapat lima dimensi SERVQUAL sebagai berikut (Parasuraman et al, 1998) :
1.      Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi fasilitas fisik (gedung, gudang, dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2.      Reliability, atau kehandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama, untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3.      Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberi pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam pelayanan.
4.      Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy).
5.      Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupayamemahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan
Pada dasarnya, definisi kualitas pelayanan berfokus kepada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaianya untuk mengimbangi harapan pelanggan. Dengan kata lain, terdapat faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa,yaitu jasa yang diharapkan (expected servic) dan jasa yang dipersepsikan (perceived service) (Zeithalm, Berry : 1985) Gasperz menyebutkan bahwa ada beberapa dimensi yang harus diperhatikan dalam rangka perbaikan kualitas pelayanan demi pencapaian maksimal, yaitu :
1.      Ketepatan waktu pelayanan, hal yang perlu diperhatikan disini adalah berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses.
2.      Akurasi pelayanan, yang berkaitan dengan reliabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.
3.      Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, terutama mereka yang berinteraksi langsung dengan pelanggan eksternal. Citra pelayanan dan industri jasa sangat ditentukan oleh orang-orang dan perusahaan yang berada di garis depan pelayanan langsung kepada pelanggan eksternal.
4.      Tanggung jawab, yang berkaitan dengan penerimaan pesanan, maupun penanganan keluhan dari pelanggan eksternal.
5.      Kelengkapan, menyangkut lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana pendukung serta pelayanan komplementer lainnya.
6.      Kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani.
7.      Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru pelayanan, Features di pelayanan lainnya.
8.      Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan permintaan khusus dan lain-lain.
9.      Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan, tempat pelayanan, kemudahan terjangkau, tempat parkir  kendaraan, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk dan bentuk-bentuk lainnya.
10.  Atribut pendukung pelayanan lainnya. (Gasperz, 1997 : 235-236)
Unsur-unsur yang dapat digunakan untuk mengukur atau mengevaluasi kepuasan pengguna jasa terhadap produk atau jasa dari perusahaan atau organisasi yang bergerak dibidang jasa tertentu dapat diketahui dari perilaku pengguna jasa. Menurut Zeithaml wujud dari perilaku pengguna jasa yang puas sebagai berikut :
1.      Loyality (kesetiaan)
2.      Paymore (membayar lebih)
3.      External response(respon luar)
4.      Internal response.(respon dalam)

(Zeithaml, 1997 : 37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar